MAKALAH PENGANTAR STUDI ISLAM Karakter Studi Islam (Studi Al-Qur’an, Hadits, Hukum Islam, dan Sejarah Islam)
MAKALAH
PENGANTAR STUDI ISLAM
Karakter Studi Islam (Studi Al-Qur’an, Hadits, Hukum Islam, dan Sejarah Islam)
Dosen : Noor Efendy, SHI, MH
Mata Kuliah : Pengantar Studi Islam
Disusun oleh :
Kelompok 5
Putri Kiswah (2022110900)
PRODI HUKUM KELUARGA ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM DARUL ULUM KANDANGAN
TAHUN 2022 M / 1443 H
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan saya petunjuk dalam mengerjakan makalah ini sehingga saya dapat menyelesaikannya dengan tepat waktu. Tak lupa pula sholawat serta salam selalu tercurah kepada baginda nabi Muhammad SAW yang membawa kita dari alam gelap gulita menuju alam yang terang benderang ini.
Dengan rasa syukur kepada Allah SWT dengan limpahan karunia-Nya berupa kesehatan, baik itu sehat fisik maupun sehat akal pikiran sehingga saya da pat menyelesaikan makalah ini dengan judul “Karakter Studi Islam (Studi Al-Qur’an, Hadits, Hukum Islam, dan Sejarah Islam)” dalam mata kuliah “Pengantar Studi Islam”
Tentunya makalah ini jauh dari kata sempurna dan sangat banyak kekurangan didalamnya. Oleh karena itu saya sangat mengharapkan kritik dan saran positif dari pembaca untuk makalah ini. Agar makalah ini bisa menjadi makalah yang lebih baik lagi.
Demikian apabila terdapat kesalahan dalam makalah ini, saya mohon maaf sebesar-besarnya. Sekian dari saya, semoga makalah ini bermanfaat untuk semua dan bisa menjadi bahan belajar bagi siapa yang membacanya. Aamiin ya rabbal’aalamiin.
Terima kasih banyak, akhirul kalam, wabillahi taufik wal hidayah, wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Kandangan, Agustus 2022
Kelompok 5
DAFTAR ISI
D. Karakter Studi Sejarah Islam
DAFTAR PUSTAKA
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Islam memiliki ajaran yang khas dalam bidang pendidikan. Islam memandang bahwa pendidikan hak bagi setiap orang (Education for All) dan berlangsung sepanjang hayat (Long life Education). Karakteristik berasal dari bahasa inggris, character yang berarti watak, karakter, dan sifat. Selanjutnya kata ini menjadi characteristic yang berarti sifat khas yang membedakan antara satu dengan yang lainnya. Dalam bahasa Indonesia character berarti sifat yaitu rupa atau keadaan yang tampak pada suatu benda, atau kata yang menyatakan keadaan sesuatu seperti panjang, keras, dan besar.
Studi Islam secara bahasa merupakan terjemahan dari bahsa Arab Dirasah Islamiyyah. Studi Islam adalah kajian tentang hal-hal yang berkaitan dengan keislaman. Studi Islam dalam hal ini yaitu kajian secara sistematis dan terpadu untuk mengetahui, memahami, dan menganalisis secara mendalam hal-hal yang berkaitan dengan agama Islam baik yang menyangkut sumber-sumber ajaran Islam, pokok-pokok ajaran Islam, sejarah Islam, maupun realitas pelaksanaanya dalam kehidupan.
1.2 Rumusan Masalah
a. Bagaimana karakteristik studi Islam dalam Studi Al-Qur’an?
b. Bagaimana karakteristik studi Islam dalam Studi Hadits?
c. Bagaimana karakteristik studi Islam dalam Studi Hukum Islam?
d. Bagaimana karakteristik studi Islam dalam Studi Sejarah Islam?
1.3 Tujuan
a. Mengetahui bagaimana karakteristik studi Islam dalam Studi Al-Qur’an
b. Mengetahui bagaimana karakteristik studi Islam dalam Studi Hadits
c. Mengetahui bagaimana karakteristik studi Islam dalam Studi Hukum Islam
d. Mengetahui bagaimana karakteristik studi Islam dalam Studi Sejarah Islam
BAB 2
PEMBAHASAN
A. Karakter Studi Al-Qur’an
Al-Qur’an diyakini tetap terpelihara seluruh isinya sepanjang zaman.
Pada saat Al-Qur’an diturunkan, Rasulullah menjadi mubayyin (pemberi penjelasan), menjelaskan kepada para sahabat tentang arti dan kandungan al-Qur’an, khususnya menyangkut ayat-ayat yang tidak dipahami atau samar artinya. Setelah Rasulullah wafat, para sahabat melakukan ijtihad dalam memahami al-Qur’an khususnya mereka yang mempunyai kemampuan, seperti Ali bin Abi Thalib, Ibn Abbas, Ubay buin Kaab, dan Ibn Mas’ud.[1]
Seiring berjalannya waktu, maka muncullah para ulama yang mencoba memberikan rambu-rambu atau standar prosedur yang harus dipenuhi oleh seseorang yang ingin menafsirkan al-Qur’an. Para ulama itu menyusun apa yang disebut sebagai ilmu-ilmu al-Qur’an (Ulum Al-Qur’an). Ilmu bantu untuk memahami al-Qur’an antara lain Ulum al-Qur’an dan Ilmu Tafsir.
1) Ulum Al-Qur’an
Secara Etimologis, Ulum al-Qur’an adalah susunan Idhafah yang terdiri dari kata ulum dan al-Qur’an yang berarti ilmu-ilmu al-Qur’an. Sedangkan secara Terminologi definisi Ulum al-Qur’an sangat bervariatif, tergantung dari aspek-aspek pembahasan ilmu-ilmu al-Qur’an yang ingin dimasukkan dalam definisinya itu. Menurut Manna’ al-Qathan, ilmu al-Qur’an adalah ilmu yang berkaitan dengan pembahasan yang berkenaan dengan al-Qur’an cari segi sebab-sebab turunnya, pengumpulan dan susunannya, mengenai ayat-ayat makiyyah dan madaniyyah, ayat yang nasikh (yang menghapus) dan yang mansukh (yang dihapus), al- Muhkam (ayat yang tegas dan jelas), al-Mutasyabih (ayat yang tidak tegas dan tidak jelas), dan lainnya yang berkaitan dengan al-Qur’an.
Al-Zarqani dalam Manahil al-‘Irfan fi Ulum al-Qur’an mendefisikan Ulum al-Quran sebagai:
مباحث تتعلق بالقرأن الكريم من ناحية نزوله و ترتيبه و جمعه و كتابته وقرأته وتفسيره و إعجازه و ناسحه ومنسوححه ودفع ااشبهة عنه و نحو ذلك
“Pembahasan-pembahasan masalah yang berhubungan dengan al-Qur’an al-Karim dari segi turunnya, urut-urutannya, pengumpulannya, penulisannya, bacaannya, mukzijatnya, nasikh dan mansukhnya, dan penolakan/ bantahan terhadap hal-hal yang bisa menimbulkan keragu-raguan terhadap al-Qur’an dan lain sebagainya”.
Dari definisi-definisi Ulum al-Qur’an diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa Ulum al-Qur’an adalah suatu ilmu yang lengkap dan mencangkup semua ilmu yang ada hubungannya dengan al-Qur’an, baik berupa ilmu-ilmu agama, seperti ilmu tafsir, maupun berupa ilmu-ilmu bahasa Arab seperti ilmu I’rab al-Qur’an. Ulum al-Qur’an berbeda dengan suatu ilmu yang merupakan cabang dari Ulum al-Qur’an. Misalnya ilmu tafsir yang menitikberatkan pembahasannya dalam ayat-ayat al-Qur’an. lmu Qira’at menitikberatkan pembahasannya pada cara membaca lafal-lafal al-Qur’an. Sedang Ulum al-Qur’an membahas al-Qur’an dari segala segi yang ada relevansinya dengan al-Qur’an.[2]
2) Ilmu Tafsir
Istilah tafsir merupakan bentuk mashdar dari kata fassara-yufassiru-tafsiiran yang berarti keterangan atau uraian.[3] Secara terminologis, al-Killabi mengatakan, tafsir adalah uraian yang menjelaskan Al-Qur’an, menerangkan maknanya, dan menjelaskan apa yang dikehendaki dengan nash, isyarat, atau tujuannya.[4]
Pada masa penyusunan ilmu-ilmu al-Qur’an yang dimulai sejak permulaan abad ke II H, para ulama memberikan prioritas menyusun tafsir, sebab tafsir adalah Ummul al-Qur’aniyah (Induk ilmu-ilmu al-Qur’an).[4] Diantara Ulama abad II H yang menyusun tafsir adalah:
a) Syu’bah bin al-Hajjaj ( wafat tahun 160 H)
b) Sufyan bin ‘Uyainah (wafat tahun 198 H)
c) Waki’ bin al-Jonah (wafat tahun 197 H)
Tafsir mereka umumnya berisikan aqwal al-shahabah dan pendapat-pendapatt dari kalangan tabiin. Kemudian menyusul Ibnu Jarir al-Thabary (wafat 310 H). Tafsir al-Thabary diakui sebagai kitab tafsir yang terbesar pada zamannya dan paling tinggi nilainya. Tafsir al-Thabary didalamnya dikemukakan oleh pengarangnya pendapat yang berbeda-beda dan ditunjukkannya satu pendapat yang terpilih, disertai keterangan riwayat-riwayat (sumber-sumber) yang benar dan tersusun rapi, di lengkapi penjelasan-penjelasan I’rab dan hukum-hukum al-Qur’an yang dapat diistinbatkan.
Dari perkembangan kitab-kitab tafsir, sejak dimulai usaha penyusunan tafsir-tafsir al-Qur’an, sejak permulaan abad II H sampai sekarang, kita dapat mengetahui bahwa disamping ada ulama-ulama yang menafsirkan al-Qur’an dengan pola tafsir riwayah atau bi al-Manqul, ada yang menafsirkannya dengan pola tafsir dirayah atau bi al-Ra’yi bi al-Ma’qul. Demikian pula ada ulama yang menafsirkan al-Qur’an seluruhnya, ada yang menafsirkan satu juz atau satu surat saja, atau hanya tema-tema tertentu, misalnya ayat ahkam dan sebagainya.
B. Karakter Studi Hadits
Kedudukan Sunnah sebagai sumber ajaran Islam selain pada keterangan ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits juga didasarkan kepada pendapat kesepakatan para sahabat. Seluruh sahabat sepakat untuk menetapkan tentang wajib mengikuti hadits baik pada masa Rasulullah masih hidup atau setelah beliau wafat.
Istilah hadits berasal dari bahasa arab. Hadits menurut (etimologi) berasal dari kata hadatsa-yahdutsu-huduutsun-hadaatsatun-haaditsun-mahduutsun adalah baru, dekat, cerita, berita, riwayat (Mahmud Yunus, 1990:89).
Sementara itu secara terminologis, para ulama berbeda beda dalam memberikan pengertian hadits. Menurut umumnya ulama hadits, esensi hadits ialah segala berita yang berkenaan dengan : sabda, perbuatan, taqrir, dan hal ihwal Nabi Muhammad Saw. Hal ihwal disini adalah segala sifat dan keadaan pribadi Nabi Muhammad Saw. (Soetari:2005)
Umat islam sepakat bahwa hadits merupakan sumber ajaran islam yang kedua setelah Al-Qur’an. Kesepakatan mereka didasarkan pada nash, baik yang terdapat dalam Al-Qur’an maupun hadits.
Sebagai sumber ajaran Islam kedua setelah Al-Qur’an, As-Sunnah memiliki fungsi yang pada intinya sejalan dengan Al Qur’an. Diantara fungsi hadits yaitu:
1. Menetapkan dan memperkuat hukum-hukum yang telah ditentukan oleh al-Qur’an.
2. Menginterpretasi ayat-ayat al-Qur’an yang global (garis besar) yang memerlukan perincian.
3. Mengkhususkan terhadap ayat-ayat yang bersifat umum (menyeluruh).
4. Menetapkan aturan atau hukum yang tidak didapat di dalam al-Qur’an.[5]
Secara garis besar ilmu hadits dibagi menjadi dua yaitu Ilmu Hadits Riwayah dan Ilmu Hadits Dirayah. Kedua macam ilmu ini akan dijelaskan dibawah ini:
1. Ilmu Hadits Riwayah
Adalah ilmu yang difungsikan pada upaya penukilan (penerimaan) yang teliti dan cermat terhadap semua yang bersumber dari Nabi berupa ucapan, perbuatan, taqrir, dan sifat-sifatnya, serta semua yang bersumber dari sahabat dan tabi’in.[6]
2. Ilmu Hadits Dirayah
Adalah bagian dari ilmu hadits yang mempelajari kaidah-kaidah untuk mengetahui hal ikhwal sanad, matan, cara-cara menerima dan menyampaikan hadits, sifat-sifat rawi dan lain-lain. Definisi ini sesuai dengan makna kata dirayah yang secara bahasa berarti pengetahuan dan pengenalan. Kegunaan ilmu ini tidak lain untuk mengetahui dan menetapkan diterima (maqbul) dan ditolak (mardud) nya suatu hadits.
Berikut ini ilmu-ilmu yang berhubungan dengan Hadits;
1. Ilmu Rijal al-Hadits
Ilmu ini sangat penting kedudukanya dalam lapangan ilmu Hadits. Hal ini karena, sebagaimana diketahui bahwa obyek kajian Hadits pada dasarnya ada dua hal, yaitu matan dan sanad.
2. Ilmu al-Jarh wa at-Ta’dil
Ilmu Al-Jarh, yang secara bahasa berarti “luka, cela, atau cacat”, adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari kecacatan para perawi, seperti pada keadilan dan kedhabitannya.
3. Ilmu Tarikh ar-Ruwah
Ilmu tarikh ar-ruwah adalah ilmu untuk mengetahui para perawi Hadits yang berkaitan dengan usaha periwayatan mereka terhadap Hadits. Dengan ilmu ini akan diketahui keadaan dan identitas para perawi, seperti kelahiranya, wafatnya, guru-gurunya, siapa orang yang meriwayatkan Hadits darinya, dan lain-lain.
Ilmu tarikh ar-ruwah ini merupakan senjata yang ampuh untuk mengetahui keadaan rawi yang sebenarnya, terutama untuk membongkar kebohongan para perawi.
4. Ilmu I’lal al-Hadits
Kata ‘ilal adalah bentuk jamak dari kata al-‘illah, yang menurut bahasa berarti al-maradh (penyakit atau sakit). Jadi I’lal hadits adala ilmu yang membahas sebab-sebab yang tersembunyi, tidak nyata, yang dapat mencacatkan hadits.
5. Ilmu an-Nasikh wa al-Masukh
Yang dimaksud dengan ilmu al-nasikh wa al-masukh disini, adalah terbatas disekitar nasikh dan mansukh pada Hadits. Kata al-naskh menurut bahasa mempunyai dua pengertian, al-izalah (menghilangkan).
Mengetahui ilmu ini sangat penting dalam ilmu Hadits ini. Bahkan menurut Al-Zuhri, ilmu inilah yang paling banyak menguras energi para ulama dan fuqaha. Hal ini karena tingkat kesulitannya yang tinggi, terutama dalam melakukan istinbat hukumnya dari nash yang samar-samar. Untuk mengetahui nasakh dan mansukh ini bisa melakukan beberapa cara, seperti:
a. Dengan penjelasan dari nash syari’ sendiri, yang dalam hal ini ialah Rasul SAW.
b. Dengan penjelasan dari para sahabat.
c. Dengan mengetahui tarikh keluarnya Hadits serta sebab wurud Hadits. Dengan demikian akan diketahui mana yang datang lebih dulu mana yang datang kemudian.
6. Ilmu Asbab Wurud al-Hadits
Yaitu ilmu yang menerangkan sebab-sebab Nabi menuturkan sabdanya dan masa-masanya.
7. Ilmu Garib al-Hadits
Menurut Ibnu Al-Shalah, yang dimaksud dengan Gharib Al-Hadits ialah ungkapan dari lafazh-lafazh yang sulit dan rumit untuk dipahami yang terdapat dalam matan Hadits karena (lafazh tersebut) jarang digunakan.
Ada beberapa cara untuk menafsirkan Hadits-Hadits yang mengandung lafazh yang gharib ini, di antaranya:
a. Dengan Hadits yang sanadnya berlainan dengan matan yang mengandung lafazh gharib tersebut.
b. Dengan penjelasan dari para sahabat yang meriwayatkan Hadits atau sahabat lain yang tidak meriwayatkanya, tapi paham akan makna gharib tersebut.
c. Penjelasan dari rawi selain sahabat.
8. Ilmu at-Tashif wa at-Tahrif
Ilmu at-Tashif wa at-tahrij, adalah ilmu pengetahuan yang berusaha menerangkan tentang Hadits-Hadits yang sudah diubah titik atau syakalnya (mushahhaf) dan bentuknya (muharraf).
Suatu contoh, dalam suatu riwayat yang disebutkan bahwa salah seorang yang meriwayatkan Hadits dari Nabi SAW, dari bani Sulaimah adalah “Utbah ibn Al-Bazir, padahal yang sebenarnya adalah “Utbah bin Al-Nazhr”. Dalam Hadits ini terjadi perubahan sebutan Al-Nazhr menjadi Al-Bazr.
9. Ilmu Talfiq al-Hadits
Yaitu ilmu yang membahas tentang cara mengumpulkan antara hadits yang berlawanan lahirnya.
10. Ilmu Mushtalah wa al-Hadits,
Yaitu ilmu yang membahas tentang berbagai istilah yang digunakan para ahli hadits dan yang dikenal dikalangan mereka.[7]
C. Karakter Studi Hukum Islam
Hukum Islam merupakan salah satu bidang studi Islam yang paling dikenal oleh masyarakat. Pengertian hukum Islam hingga saat ini masih rancu dengan pengertian syariat. Dalam kaitan ini dijumpai pendapat yang mengatakan bahwa hukum Islam adalah sekelompok dengan syariat yaitu ilmu yang berkaitan dengan amal perbuatan manusia yang diambil dari nash Al-Qur’an atau As-Sunnah.[8]
Syari’ah secara etimologis berarti jalan yang lurus (al-thariqahal al-mustaqimah) sebagaimana yang diisyaratkan dalam surah al-Jatsiyah ayat18. Sementara itu, pengertian syari’ah secara terminologis, dikemukakan oleh At-Tahanawi dalam al-Kasysyaf Ishthilahat al-Funun sebagaimana dikutip oleh A. Hanafi (1970:1) menjelaskan bahwa syari’ah adalah hukum-hukum yang diadakan oleh Allah Swt. yang dibawa oleh salah satu nabi-Nya, termasuk Nabi Muhammad Saw., baik hukum yang berkaitan dengan cara berbuat yang disebut dengan “far’iyah atau amaliyah” yang dihimpun ilmu fiqih, maupun yang dihimpun dengan kepercayaan yang disebut dengan “ashliyah atau I’tiqdiyah” yang dihimpun ilmu kalam.
Tujuan penetapan syari’ah (hukum islam) dikenal dengan maqashid al-syari’ah atau al-maqashid al-khamsah, yaitu memelihara agama (hifzh ad-diin), memelihara jiwa (hifzh an-nafs), memelihara akal pikiran (hifzh al-‘aql), memelihara keturunan (hifzh an-nasl), memelihara kehormatan dan harta benda (hifzh al-‘ard wa al-amwal).[9]
Fatihi Ridwan (1969:41-52) dalam Muhaimin dkk. (2013:295) menyebutkan tiga macam ciri khas hukum islam.
1) Hukum islam bercirikan manusiawi (insani), menunjukkan relevansi hukum islam dengan watak asli manusia dan keinginan manusia untuk memperoleh kebahagiaan lahir dan batin.
2) Hukum islam bercirikan moral (akhlaqi), yakni ciri yang memberikan aturan dalam syari’ah islam berpijak pada kode etik qur’ani sehingga Pendidikan dalam islam bertujuan membina dan membentuk akhlak mulia dengan cara lemah lembut.
3) Hukum islam bercirikan universal, yaitu adanya hukum islam yang mencakup keseluruhan totalitas masyarakat dalam berbagai dimensinya.
Watak atau karakteritik hukum islam menurut Hasbi As-Shiddiqi sebagaimana dikutip oleh Muhaimin dkk. (2013:297) terdapat tiga macam.
1) Watak hukum islam yang serba sempurna (takamul) mengingat agama islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. Merupakan agama terakhir sehingga syari’ahnya disempurnakan yang tidak ada perubahan baginya.
2) Hukum islam berwatak harmonis dan seimbang (wasathi-yah), yakni hukum keseimbangan yang tidak mudah goyah, selaras, dan serasi sehingga membentuk ciri khas yang unik karena itu umat Nabi Muhammad dijadikan sebagai umat yang wasath (tengah-tengah) yang menengahi umat-umat sebelumnya.
3) Watak hukum islam yang dinamik (al-harakah) yang bercirikan bahwa hukum islam itu berkembang menurut kondisi yang memengaruhi seiring dengan kemajuan peradaban manusia.
D. Karakter Studi Sejarah Islam
Istilah ‘sejarah’ adalah terjemahan dari kata tarikh (bahasa arab), sirah (bahasa arab), history (bahasa inggris), dan geschichte (bahasa Jerman). Semua kata tersebut berasal dari bahasa Yunani yang berarti Ilmu.
Definisi sejarah yang lebih umum adalah masa lampau manusia, baik yang berhubungan dengan peristiwa politik, sosial, ekonomi, maupun gejala alam. Definisi ini memberi pengertian bahwa sejarah tidak lebih dari sebuah rekaman peristiwa masa lampau manusia dengan segala sisinya.
Umat Islam sebagai bagian dari masyarakat pada umumnya, tentu saja tidak lepas dari peristiwa sejarah. Oleh karena itu, paparan berikut membicarakan sejarah umat Islam meskipun, karena keterbatasan ruang, sejarah tersebut disajikan secara singkat.[10]
A. Fase-fase Sejarah Islam
Dikalangan sejarawan terdapat perbedaan tentang saat dimulainya sejarah Islam. Secara umum, perbedaan pendapat itu dapat dibedakan menjadi dua. Pertama, Sebagian sejarawan berpendapat bahwa sejarah Islam dimulai sejak Nabi Muhammad diangkat menjadi rasul. Kedua, sebagian sejarawan berpendapat bahwa sejarah umat Islam dimulai sejak Nabi Muhammad SAW hijrah ke Madinah tidak hanya sebagai rasul, tetapi juga sebagai pemimpin atau kepala negara berdasarkan konstitusi yang disebut Piagam Madinah.[11]
B. Periodisasi Sejarah Islam
Di samping perbedaan mengenai awal sejarah umat islam , sejarawan juga berbeda pendapat dalam menentukan fase-fase atau periode islam. Paling tidak, ada dua periodisasi sejarah islam yang dibuat oleh ulama Indonesia, yaitu A. Hasymy dan Harun Nasution.
Menurut A. Hasymy (1978:58), periodisasi sejarah islam adalah sebagai berikut.
1. Permulaan Islam (610-661M)
2. Daulah Ammawiyah (661-750 M)
3. Daulah Abbasiyah I (750-847 M)
4. Daulah Abbasiyah II (847-946 M)
5. Daulah Abbasiyah III (946-1075 M)
6. Daulah Mughal (1261-1520 M)
7. Daulah Utsmaniyah (1520-1801 M)
8. Kebangkitan (1801 M-sekarang)
Berbeda dengan A.Hasymy, Harun Nasution (1975:13-4) dan Nourouzaman Shidiqi (1986:12) membagi sejarah islam menjadi tiga periode, yaitu sebagai berikut.
1. Periode Klasik (650-1250 M)
2. Periode Pertengahan (1250-1800 M)
3. Periode Modern (1800 M-sekarang)
1. Periode Klasik (650-1250 M)
a) Masa Pemerintahan Al-Khulafa Ar-Rasyidin
Masa perkembangan Islam diawali semenjak diangkatnya Nabi Muhammad SAW menjadi rasul sampai dengan tahun 1000 M. Setelah Rasulullah SAW wafat ekspansi selanjutnya kedaerah-daerah luar semenanjung Arabi yang dilanjutkan oleh Al-Khulafa Ar-Rasyidin yaitu Abu Bakar, Usman, Utsman, dan Ali.
Kemudian para elit umat Islam mengadakan musyawarah, dan mereka memutuskan untuk memilih Abu Bakar sebagai pengganti Rasulullah yang disebut khalifah Rasulillah. Masa kepemimpinannya hanya berjalan selama dua tahun. Pada tahun 634 M ia meninggal dunia. Di masa singkatnya itu ia gunakan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan dalam negeri dan luar negeri. Pemerintahan yang dijalankan oleh Abu Bakar ini sebagaimana pemerintahan pada masa Rasulullah SAW.
Dua tahun kemudian setelah Abu bakar meninggal dunia, usaha-usaha yang telah dilakukannya dilanjutkan oleh Khalifah kedua Umar Ibn Khathab (634-644M). Pada zamannya, gelombang ekspansi Islam (perluasan daerah kekuasaan Islam) pertama terjadi dengan cepat. Dengan demikian, pada masa kepemimpinan Umar wilayah kekuasaan Islam sudah meliputi Jazirah Arabia, Palestina, Syria, sebagian besar wilayah Persia dan Mesir (Harun Nasution, 1985:58).
Umar memerintah selama sepuluh tahun (13-23 H/634-644M). Masa jabatannya berekhir dengan kematiannya karena dibunuh oleh seorang budak Persia bernama Abu Lu’lu’ah. Setelah Umar wafat keenam orang sahabat Umar berhasil menunjuk Utsman sebagai Khalifah.
Pemerintahan Utsman berlangsung selama 12 tahun ( 644-655M). Pada masa pemerintahannya berhasil merebut Armenia, Tunisia, Cyprus, Rhodes dan bagian yang tersisa dari Persia, Transoxania, dan Tabaristan kemudian pada separuh terakhir masa kekhalifahannya muncul oposisi dari kalangan umat Islam sendiri yang merasa tidak puas dan kecewa terhadap pemerintahan Utsman.
Setelah Utsman wafat, umat Islam membaiat Ali ibn Abi Thalib sebagai khalifah. Ali menghadapi pemnberontakan Thalhah, Zubair, dan Aisyah, kemudian persengketaan ini dikenal dengan istilah Perang Jamal. Alasan mereka memberontak karena Ali tidak menghukum para pembunuh Utsman. Setelah berhasil memadamkan pemberontakan ini, Ali bergerak dari Kufah menuju Damaskus. Kemudian disini terjadi pertempuran yang dikenal dengan Perang Shiffin. Perselisihan ini diakhiri dengan tahkim atau arbitrase, tetapi hal ini tidak menyelesaikan masalah bahkan mnyebabkan timbulnya golongan ketiga yaitu kelompok Khawarij. Dari sinilah ujung pemerintahan Ali bin Abi Thalib. Umat islam terpecah menjadi tiga kekuatan politik, yaitu kelompok Muawiyah, kelompok Syi’ah, dan kelompok Khawarij.
Akhirnya pada tanggal 20 Ramadhan 40H/660 M Ali terbunuh oleh salah seorang anggota Khawarij. Kemudian jabatan sebagai Khalifah digantikan oleh anaknya yaitu Hasan yang hanya berjalan beberapa bulan. Dengan demikian, berakhirlah pemerintahan yang disebut dengan masa Al-Khulafa Ar- Rasyidin dan dilanjutkan oleh Mu’awiyah sebagai penguasa pertama dari pemerintahan Bani Umayyah.[12]
b) Masa Pemerintahan Bani Umayyah
Memasuki kekuasaan Mu’awiyah yang menjadi kekuasaan Bani Umayyah, Pemerintah yang bersifat demokratis berubah menjadi demokratis monarchiheridetis (kerajaan atau pemerintahan secara turun temurun). Pada masa ini, dalam waktu kurang dari satu abad Nabi Muhammad wafat, Islam telah tersebar ke berbagai daerah. Daerah-daerah kekuasaannya meliputi; Ethopia, Danau Oral, daerah timur sampai ke India dan Perancis.
Disamping ekspansi Islam ke berbagai daerah, pada masa pemerintahan Bani Umayyah, banyak terjadi perubahan dan perkembangan, baik dibidang kenegaraan, ekonomi, ilmu pengetahuan, dan bidang – bidang lainnya.
Munculnya istilah-istilah administrasi kenegaraan tersebut setelah mengalami perubahan bahasa dari bahasa Yunani dan Pahlawi menjadi bahasa Arab, sehingga orang-orang bukan Arab yang masuk Islam untuk menyempurnakan pengetahuan mereka tentang keIslaman, dituntut untuk pandai berbahasa Arab.
Selain mengubah bahasa administrasi, Abdul Malik juga mengubah mata uang yang dipakai di daerah-daerah yang dikuasai Islam.
Di bidang pembangunan, masjid-masjid pertama diluar semenanjung arabia didirikan. Katedral St. John di Damaskus diubah menjadi Masjid. Kemudian Masjid Cordova saat itu dibangun, juga Masjid di Mekkah dan Madinah diperbaiki dan diperbesar.
Setelah Abdul Malik meninggal dunia (743 M) Khalifah-khalifah Bani Umayyah yang tampil bukan hanya lemah, tetapi juga bermoral buruk. Akhirnya pada tahun 750 M, Daulah Umayyah dapat digulingkan oleh Bani Abbas yang bersekutu dengan Abu Muslim Al-Khurasani. Selanjutnya pemerintahan Islam dipegang oleh Bani Abbas, dan kekuasaanya berjalan lebih lama daripada pemerintahan Bani Umayyah. [13]
c) Masa Pemerintahan Bani Abbasiyah
Pemerintahan ini didirikan oleh Abdullah ibn Abbas, nama lengkapnya adalah Abdullah As-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn Abbas.
Kekuasaannya berlangsung dalam rentan waktu yang sangat panjang (132H/750M-656H/258M). Pemerintahan ini didirikan oleh Abu Abbas, dia hanya memerintah selama empat tahun. Kemudian dilanjutkan pembunaan yang sebenarnya oleh Al-Mansyur. Periode ini juga berhasil menyiapkan landasan bagi perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan dalam Islam.
Dibidang pemerintahan dia menciptakan tradisi baru dengan mengangkat Wazir sebagai koordinator departemen. Dia juga membentuk lembaga protokol negara, sekertaris negara dan kepolisian negara disamping membenahi angkatan bersenjata.
Pada masa ini, konsep khalifah berubah, menjadi Sulthan. Untuk itu Al-Mansyur berkata : “Innama Ana Sulthan Allah fi al-ardhi.” Artinya : sesungguhnya aku adalah kekuasaan Tuhan dibumi-Nya. Dengan demikian konsep Khilafah dalam pandangannya dan berlanjut kepada generasi sesudahnya merupakan mandat dari Allah, bukan dari manusia dan bukan pula pelanjut Nabi sebagaimana pada masa Khilafah Ar-Rasyidin.
Pada masa ini kemajuan politik berjalan seiring dengan kemajuan peradaban dan kebudayaan, sehingga Islam mencapai masa keemasan, namun sayang setelah periode ini berakhir, kekuasaan Islam mengalami kemunduran.[14]
2. Periode Pertengahan (1250-1800 M)
a) Masa Kemunduran (1250-1500 M)
Kemunduran umat Islam pada zaman pertengahan diawali dengan kehancuran Baghdad oleh Hulagu Khan (cucu Jengis Khan). Dari Baghdad, ia meneruskan serangan ke Suria dan Mesir, tetapi di Mesir ia berhasil dipukul mundur oleh Baybars, jenderal Mamluk din Ain Jalut. Baghdad selanjutnya diperintah oleh Dinasti Ilkhan (gelar bagi Hulagu)
Di Mesir, dinasti yang berkuasa silih berganti dan saling menjatuhkan. Dimulai dari Dinasti Fathimiyah, yang beraliran Syi’ah digantikan oleh Dinasti Ayyubiyah yang beraliran sunni. Ayyubiyah di Mesir berakhir tahun 1250, digantikan oleh Dinasti Mamluk sampai tahun 1517.
Perpecahan juga terjadi di antara para pengikut mazhab fikih. Para ulama pengikut mazhab disibukkan dengan kegiatan pembelaan dan penguatan mazhab yang dianutnya, bahkan cenderung beranggapan bahwa mazhabnyalah yang paling benar. Hal ini mendorong semakin turunnya semangat ijtihad dan akhirnya “meninggalkan” ijtihad. Akhirnya fikih tidak berkembang; yang berkembang adalah budaya ittiba’ dan taqlid. Dalam suasana yang demikian, muncullah tiga kerajaan besar yang berusaha menyadarkan kembali umat islam dari keterbelakangan dan kemundurannya.
b) Masa Tiga Kerajaan Besar (1500-1800 M)
Tiga kerajaan yang dimaksud adalah Kerajaan Utsmani di Turki (1290-1924), Kerajaan Safawi di Persia (1501-1736), dan Kerajaan Mughal di India (1526-1858).
Dalam bidang agama, Akbar (1556-1606 M), salah satu raja Mughal India, mempunyai pendapat yang liberal.ia ingin menyatukan semua agama dalam satu bentuk agama baru yang diberi nama Din Ilahiy (Harun Nasution, I, 1985:85).
Kemajuan tiga kerajaan besar ini tidak bertahan lama karena adanya kerusakan internal dan serangan dari luar. Akhirnya satu demi satu persatu berjatuhan digantikan oleh kekuatan lain: Kerajaan Utsmani digantikan oleh Republik Turki (1924), Safawi di Persia diganti oleh Dinasti Qajar (1925), dan kerajaan Mughal di India diganti oleh penjajah Inggris (1875-1947). Akhirnya usaha ketiga kerajaan besar ini untuk memajukan umat islam, “tidak berhasil” dan umat islam memasuki fase kemunduran kedua. Akhirnya , India mulai tahun 1857 dijajah oleh Inggris sampai tahun 1947, dan Mesir dikuasai oleh Napoleon dari Perancis tahun 1798.
3. Periode Modern (Sejak 1800 M)
Periode ini memang merupakan zaman kebangkitan kembali Islam, setelah mengalami kemunduran di periode pertengahan. Pada periode ini mulai bermunculan pemikiran pembaruan dalam Islam, yang disebabkan oleh, sebagai berikut:
a) Timbulnya kesadaran di kalangan para ulama bahwa banyak ajaran asing yang diterima sebagai ajaran Islam.
b) Barat mendominasi dunia di bidang politik dan peradaban.
Dengan demikian, timbulah apa yang disebut pemikiran dan aliran pembaharuan atau modernisasi dalam Islam. Para pemuka Islam mengeluarkan pemikiran-pemikiran bagaimana caranya membuat umat Islam maju kembali sebagaimana keadaanya pada periode klasik.[15]
BAB 3
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Al-Qur’an diyakini tetap terpelihara seluruh isinya sepanjang zaman. Seiring berjalannya waktu, para ulama menyusun apa yang disebut sebagai ilmu-ilmu al-Qur’an (Ulum Al-Qur’an). Ilmu bantu untuk memahami al-Qur’an antara lain Ulum al-Qur’an dan Ilmu Tafsir.
B. Karakter Studi Hadits
Menurut umumnya ulama hadits, esensi hadits ialah segala berita yang berkenaan dengan : sabda, perbuatan, taqrir, dan hal ihwal Nabi Muhammad Saw. Secara garis besar ilmu hadits dibagi menjadi dua yaitu Ilmu Hadits Riwayah dan Ilmu Hadits Dirayah.
C. Karakter Studi Hukum Islam
Hukum Islam adalah sekelompok dengan syariat yaitu ilmu yang berkaitan dengan amal perbuatan manusia yang diambil dari nash Al-Qur’an atau As-Sunnah. Secara terminologis, syari’ah berarti hukum-hukum yang diadakan oleh Allah Swt. yang dibawa oleh salah satu nabi-Nya, termasuk Nabi Muhammad Saw., baik hukum yang berkaitan dengan cara berbuat ataupun dengan kepercayaan.
D. Karakter Studi Sejarah Islam
Definisi sejarah yang lebih umum adalah masa lampau manusia, baik yang berhubungan dengan peristiwa politik, sosial, ekonomi, maupun gejala alam. Sejarah islam menjadi tiga periode, yaitu Periode Klasik (650-1250 M), Periode Pertengahan (1250-1800 M), dan Periode Modern (1800 M-sekarang).
3.2 KRITIK DAN SARAN
Demikian makalah yang telah saya susun, mengingat terbatasnya pengetahuan dan pemahaman saya dalam menelaah berbagai macam pembahasan tentang macam-macam karakter studi islam saya berharap para pembaca agar memberikan kritik dan saran yang membangun guna meningkatkan ketelitian dan penyempurnaan makalah. Semoga uraian-uraian yang saya sampaikan dapat bermanfaat bagi saya dan para pembaca. Aamiin.
DAFTAR PUSTAKA
Natta, Abuddin, Metodologi Studi Islam, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004
Natta, Abuddin, Studi Islam Komprehensif, PT Kencana, Jakarta, 2011
Ahmad Ghazali Dede, dan Heri Gunawan, Studi Islam, PT Rosdakarya, Bandung, 2017
Yusuf Ali Anwar, Studi Agama Islam, CV. Pustaka Setia, Bandung, 2003
Abd. Hakim Atang, dan Jaih Mubarok, Metodologi Islam, PT Rosdakarya, Bandung, 2012
[2] Mohammad Nor Ichwan, Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an, (Semarang: RASAIL Media Group, 2008), hal.4
[3] Drs. H. Dede Ahmad Ghazali, M.Ag. dan Heri Gunawan, S.Pd.I., M.Ag., Studi Islam, (Bandung: Rosda, 2017), hal.106
[4] Ibid, hal. 106
[5] Atang Abd Hakim, dkk. Metodologi Studi Islam, ( Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011), hal. 87-88
[6] Daniel Juned, Ilmu Hadist Paradigma Baru dan Rekontruksi Ilmu Hadits, (Jakarta: Erlangga, 2010), hal. 95
[7] Abuddin Nata, Studi Islam Komprehensif, ( Jakarta: Kencana, 2011), hal. 193-194
[8] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2009), hal. 298
[9] [9] Drs. H. Dede Ahmad Ghazali, M.Ag. dan Heri Gunawan, S.Pd.I., M.Ag., Studi Islam, (Bandung: Rosda, 2017), hal.192
[11] Drs. Atang Abd. Hakim, M.A., Metodologi Studi Islam, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, hal. 138
[12] Ali Anwar Yusuf, Studi Agama Islam, (CV.Pustaka Setia:Bandung ,2003), hal. 205-209
[13] Ali Anwar Yusuf, Studi Agama Islam, (CV.Pustaka Setia:Bandung, 2003), hal. 209-212
[14] Ali Anwar Yusuf, Studi Agama Islam, (CV.Pustaka Setia:Bandung, 2003), hal.217