MAKALAH ISU-ISU KONTEMPORER DALAM STUDI ISLAM
ISU ISU KONTEMPORER DALAM STUDI ISLAM
Mata Kuliah : PENGANTAR STUDI ISLAM
Dosen Pengampu & Pengajar : NOOR EFENDY, SHI, MH
Disusun Oleh : NORHILMA - 2022110915
Sekolah tinggi agama islam
Darul ulum kandangan
Prodi hki
2022/2023
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Puji syukur bagi Allah SWT. yang telah memberikan berkah, karunia, dan rahmat-Nya sehingga saya bisa menyelesaikan makalah ini yang merupakan tugas dari dosen pengajar tepat pada waktunya. Tak lupa pula saya ucapkan shalawat dan salam yang semoga selalu tercurah kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW. beserta keluarga, sahabat, dan pengikut beliau hingga akhir zaman.
Makalah ini saya susun untuk memenuhi tugas dari mata kuliah Pengantar Studi Islam. Makalah ini bertujuan untuk memberikan penjelasan kepada pembaca tentang Isu-Isu Kontemporer dalam studi Islam. Dalam penyusunan makalah ini, ditulis berdasarkan buku yang berkaitan dengan studi islam mengenai isu-isu kontemporer, serta informasi dari jurnal yang berhubungan dengan studi islam.
Tidak lupa pula saya ucapkan terima kasih kepada NOOR EFENDY, SHI, MH selaku dosen pengampu dan pengajar pengantar studi islam. Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca. Saya sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman pembaca. Saya jauh dari kata sempurna, mohon maaf jika dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman saya.
Sekian terimakasih, wassalam.
Kandangan, Agustus 2022
Kelompok 12
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................ i
DAFTAR ISI.......................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN..................................................................... iii
1.1 Latar Belakang................................................................................ iii
1.2 Rumusan Masalah.......................................................................... iv
1.3 Tujuan.............................................................................................. iv
BAB II PEMBAHASAN....................................................................... 1
A. Islam Liberal.............................................................................. 1
B. Terorisme.................................................................................... 3
C. Pluralisme Beragama............................................................... 4
D. Kesetaraan Gender.................................................................... 6
BAB III PENUTUP.............................................................................. 9
E. Kesimpulan................................................................................. 9
F. Rekomendasi.............................................................................. 10
DAFTAR PUSTAKA............................................................................. 10
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Isu – isu kontemporer adalah isu yang masih modern dan masih terjadi hingga sekarang. Dalam hukum Islam didefinisikan sebagai kasus baru atau problematika kekinian yang belum pernah muncul sebelumnya. Pemikiran islam kontemporer umumnya ditandai dengan lahirnya suatu kesadaran baru atas keberadaan tradisi (al-turats) di satu sisi dan keberadaan modernitas (al-hadatsah) di sisi lain, serta bagaimana sebaiknya memandang keduanya. Apakah tradisi harus dilihat dengan kacamata modernitas ataukah modernitas harus dilihat dengan kacamata tradisi atau bisakah kedunya dipadukan?
Paparan seorang alumnus Isalamic Studies McGill University Montreal, Kanada tentang perkembangan ideologi gerakan pemikiran islam kontemporer, menyiratkan bahwa sejarah perkembangan pemikiran merupakan fenomena dialekta, dimana sebuah pemikiran selalu ditimpali, dilanjutkan dengan pemikiran lain. Reformisme misalnya, berpandangan bahwa Islam adalah sistem keyakinan yang sempurna dan fleksibel untuk mengakomodir perkembangan modern. Sedangkan salafisme mengatakan hal yang berbeda, bahwa sumber Islam yang ontentiklah yang harus diwujudkan dalam kehidupan, tanpa mengakomodir modernitas. [1]
Perkembangan yang cukup signifikan di abad ke XX yaitu semakin meningkatnya perjuangan negara-negara Muslim untuk melepaskan diri dari dominasi kolonial Barat. Perjuangan tersebut banyak membuahkan hasil, namun tidak berarti pula mereka telah lepas sama sekali, dari bayang-bayang dan dominasi Barat. Isu kontemporer yang menjadi perhatian islam sekarang. Hal tersebut perlu dikaji supaya tidak terjadi kesalah pahaman dalam memahami isu – isu tersebut.
Islam ditampilkan dalam bentuk dan wajah yang berbeda antara satu komunitas masyarakat dan komunitas masyarakat lainnya, sehingga melahirkan konstruksi budaya islam yang tidak seragam. Persentuhan islam dengan dinamika kehidupan masyarakat dalam berbagai lapisan dan dinamikanya serta gerak progresif perubahan zaman telah membawa islam untuk dan dipaksa terlibat dengan berbagai isu kontemporer dinamika kehidupan, yang sangat boleh jadi, tidak terjadi dan karenanya tidak dikenal pada masyarakat sebelumnya.
Realitas agama islam yang diakui atau tidak dimasing-masing daerah telah terjadi cara pandang yang berbeda dalam memahami agama. Cara pandang inilah jika tidak disadari, menimbulkan konflik berkepanjangan. Masing-masing kelompok organisasi agama mengklaim paling benar sedangkan kelompok lain salah dan akan masuk neraka karena telah diklaim bid’ah. Sekarang dikalangan islam juga terjadi pemikiran agama baru yang bermunculan. Mereka menganggap setiap orang berhak memahami agama dalam konteks kebebasan diri sendiri untuk memahami agama. Pada akhirnya menimbulkan pertanyaan apakah agama sudah tidak mampu lagi menyuguhkan kedamaian sosial sebagaimana yang diajarkan dalam agama ataukah pemeluk agama sudah merasa jenuh atas fatwa agama yang lalu?
1.2 Rumusan Masalah
a. Apa saja isu-isu yang terkait dengan dinamika studi islam dalam konteks relasinya dengan dunia kontemporer?
b. Apa makna dari beberapa isu-isu yang terkait dengan dinamika studi islam dalam konteks relasinya dengan dunia kontemporer?
c. Bagaimana asal mula terjadinya?
d. Apa saja contoh kejadian yang terkait dengan isu-isu dinamika studi islam dalam konteks relasinya dengan dunia islam?
1.3 Tujuan
a. Dapat mengetahui apa saja yang merupakan isu-isu dinamika studi islam dalam konteks relasinya dengan dunia kontemporer
b. Dapat memahami apa yang dimaksud dengan isu-isu kontemporer dalam studi islam dan dapat memahami makna dari hal-hal yang terkait dengan isu-isu kontemporer tersebut
c. Dapat mengetahui sejarah ditemukannya beberapa isu-isu kontemporer dalam studi islam
d. Dapat mengetahui kejadian apa saja yang termasuk isu-isu kontemporer dalam studi islam
BAB II
PEMBAHASAN
A. Islam liberal
Kata liberal berasal dari kata latin liber yang artinya bebas atau mereka bandingkan dengan kata liberty yang berarti kemerdekaan. Liberalisme secara etimologis berarti falsafah politik yang menekankan nilai kebebasan individu dan peran negara yang mrlindungi hak- hak negara.[2]
Liberalisme merupakan paham kebebasan. Artinya, manusia diberikan kebebasan berpikir dan bertindak sesuai dengan apa yang diinginkan. Liberalisme adalah paham yang berusaha memperbesar wilayah kebebasan individu dan mendorong kemajuan sosial. Prinsip-prinsip liberalisme adalah kebebasan dan tanggung jawab. Liberalisme memandang Hak Asasi Manusia (HAM) sebagai sesuatu yang bersifat fundamental dan universal.
Pemikiran liberal ingin melepaskan diri dari kekuasaan-kekuasan kesultanan yang berkolaborasi dengan simbol-simbol keagamaan yang paham keagamaan. Golongan pembaharuan lebih memberi perhatian pada islam karena didalam islam bisa mendapat dua bagian, pertama ibadah dan yang kedua bid’ah. Islam liberal di Indonesia adalah sama dengan pembaharuan islam atau islam neo-modernis. Modernis khususnya muslim bukan mendapatkan keuntungan ekonomis dan sosial melainkan kemalangan. Islam liberal menghadirkan kembali masalalu untuk kepentingan modernitas.
Pemikiran Islam liberal (islib), dipopularkan oleh suatu kumpulan para pemuda dengan menumbuhkan satu rangkaian kerjasama didalam dan diluar Negara, yang mereka namakan sebagai “jaringan islam liberal”. Liberalisme islam di Indonesia ini memang belum menunjukkan ekspresi intelektual keislaman yang mandiri. Mereka lebih mengeksplorasi pemikiran islam liberal yang diimpor dari dunia islam lain. Tokoh-tokoh islam liberal seperti Musthafa Abdul Raziq, Fazlur Rahman, Mohammad Arkoun, Hasan Hanafi, Nashr Abu Zaid, Muhammad Abeed al-Jabiri, dan Abdul Kraim Soroush merupakan ide mereka. [3]
Liberalisme Islam Indonesia berorientasi pada ranah kultural. Mereka kurang tertarik dalam masalah politik. Seringkali respon mereka terhadap realitas sosial terkesan senafas dengan agenda liberalisasi ekonomi dan politik. Isu demokratisasi, HAM, kebebasan ekspresi dan sistem ekonom berdasarkan mekanisme pasar bebas merupakan contoh nyata relasi mereka agenda liberalisasi politik dan ekonomi.
Sebenarnya liberalisme sudah terjadi begitu lama dalam islam. Namun MUI dalam fatwanya mengharamkan liberalisme karena penggunaan akal yang berlebihan dalam pemikiran keislaman.[4] Adapun gagasan yang dapat dijadikan tolak ukur bahwa sebuah pemikiran islam dapat disebut liberal : 1.) Melawan teoraksi, yaitu ide-ide yang hendak mendirikan negara islam. 2.) Mendukung gagasan demokratis. 3.) Membela hak-hak perempuan. 4.) Membela hak-hak non-Muslim. 5.) Membela kebebasan berpikir. 6.) Membela gagasan kemajuan. Siapa pun yang membela salah satu dari keenam gagasan diatas, maka bolehlah disebut penganut gagasan islam liberal. [5]
Dengan demikian, gagasan islam liberal berusaha memadukan islam dengan situasi modernitas sebagai sesuatu yang tidak dapat dielakkan, sehingga islam tetap mampu menjawab perubahan sosial yang secara terus menerus terjadi. Islam harus tetap menjadi pengawal menuju realitas kesejarahan yang hakiki ditengah pergolakan situasi modernitas dan era globalisasi.
Mazhab liberal memahami islam bukan sebagai barang sekali jadi, tetapi harus dilihat konteks sosial historisnya. Islam harus dipahami secara modern dan mengutamakan reason, karena islam sendiri merupakan agama rasional. Islam liberal bukanlah islam yang membebaskan kepada penganutnya untuk berbuat sesuka hati menafsirkanajaran islam, islam liberal hanya memberikan kembali terhadap pemikiran, paham, pendapat, gagasan, pranata yang dihasilkan masa lalu untuk dikontekstualkan dan dirubah sesuai dengan tuntutan zaman.[6]
Islam liberal mendewakan modernitas, sehingga islam harus disesuaikan dengan kemodernan. Jika terjadi konflik antara ajaran islam dan pencapaian modernitas, maka yang harus dilakukan, menurut mereka, bukanlah menolak modernitas, tetapi menafsirkan kembali ajaran tersebut. Inilah inti dari sikap dan doktrin islam liberal.
B. Terorisme
Menurut bahasa : “terorisme adalah melakukan sesuatu yang menyebabkan orang menjadi panik, takut gelisah, tidak aman dan menimbulkan gangguan dalam bidang kehidupan dan interaksi manusia”. Sedangkan menurut syariat :” terorisme adalah segala sesuatu yang menyebabkan goncangan keamanan, pertumpahan darah, keruskan harta atau pelampauan bats dengan berbagai bentuknya”.[7]
Istilah terorisme oleh para ahli kontraterorisme dikatakan merujuk kepada para pelaku yang tidak bergabung dalam angkatan bersenjata yang dikenal atau tidak menuruti peraturan angkatan bersenjata tersebut. Aksi terorisme juga mengandung makna bahwa serang-serangan teroris yang dilakukan tidak berperikemanusiaan dan tidak memilki justifikasi, dan oleh karena itu para pelakunya (teroris) layak mendapatkan pembalasan yang kejam. Para teroris umumnya menyebut diri mereka dengan sebutan separatis, pejuang pembebasan, pasukan perang salib, militan, mujahidin, dan lain-lain. Tetapi dalam pembenaran dimata terorisme: “makna sebenarnya dari jihad, mujahid adalah jauh dari tindakan terorisme yang menyerang penduduk sipil padahal tidak terlibat dalam perang”. Padalah terorisme sendiri sering tampak dengan mengatasnamakan agama (Tike,2015). [8]
Gerakan terorisme pada intinya sangat bertabrakan dengan tujuan kehadiran agama yaitu untuk memelihara agama(hifdz al-din), memelihara jiwa(hifdz al-nafs), memelihara akal(hifdz al-aql), memelihara keturunan(hifdz al-nafl), dan memelihara harta benda(hifdz al-maal). Terorisme merupakan kekerasan yang menimbulkan suasana teror, menimbulkan korban yang bersifat massal, kerusakan dan kehancuran terhadap objek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional, dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan. Islam agama yang indah, penuh cinta dan kasih sayang, maka salah jika kita mengklaim islam sebagai agama teroris, dan salah besar juga jika menghancurkan umat beragama nonmuslim dengan mengedepankan islam dan menancapkan kata kata “jihad fisabilillah” dihati para orang muslim. Radikalisme yang berujung dengan terorisme lebih didominasi dari dogma agama yang dipahami secarasempit oleh pemeluknya. Munculnya radikalisme dan terorisme disebabkan oleh cara pandang atau wawasan yang sempit terhadap agama. Pola pikit normatif dan pola pikir hitam putih merupakan faktor dominan lahirnya radikalisme dan terorisme.
Dari catatan sejarah, kejadian yang melanda umat saat ini, bahwa kejadian yang tidaklah keluar dari dua perkara:
1. Terorisme fisik, yaitu peristiwa yang sekarang terjadi puncak sorotan masyarakat, berupa peledakan, penculikan, bom bunuh diri, pembajakan dan seterusnya.
2. Terorisme ideologi, yaitu dengan menjelaskan segala pemikiran menyimpang dari tuntunan agama islam yang benar.
Setiap aksi perusakan apalagi jika dilakukan dengan mengatasnamakan ideologi keagamaan diyakini sangat membahayakan karena itu tidak bisa ditoleransi siapapun. Meski sering kali sulit ditemukan faktor-faktor penyebab teror tampaknya bisa dilihat dari suatu pola umum, bahwa teror dengan skala besar dilakukan menarik perhatian atau mengalihkan perhatian dari sesuatu, menumbuhkan sentimen permusuhan antar umat beragama dan kelompok, dan mengakibatkan situasi kacau negeri dan dunia (Zuly Qadir,2010).[9]
C. Pluralisme beragama
Selama berabad-abad, hampir semua peperangan yang terjadi antara berbagai bangsa telah melibatkan agama. Meskipun bukan sebagai penyebab utamanya, agama telah banyak berperan sebagai faktor pembenar dan penganut atas terjadinya perang tersebut. [10] Sehubungan dengan makna pluralisme, Diana L. Eck, profesor Comparative Religion and Indian Studies dan Director of Pluralism di Hardvard University menyatakan bahwa terdapat 3 hal tentang pluralisme yang dapat menjelaskan makna pluralisme, [11] yaitu: Pertama, pluralisme bukan hanya beragam atau majemuk, lebih dari sekedar itu. Keragaman adalah fakta yang dapat dilihat tentang dunia dengan budaya yang beraneka ragam. Pluralisme membutuhkan keikutsertaan. Kedua, pluralisme bukan sekedar toleransi, tetapi melebihinya yakni melalui usaha yang aktif untuk memahami orang lain. Ketiga, bahwa pluralisme bukan sekedar relativisme. Pluralisme adalah sebuah ikatan, bukan pelepasan perbedaan dan kekhususan. Kita harus saling menghormati dan hidup secara damai.
Sementara itu, Fuzan Saleh memberikan beberapa pengertian mengenai pluralisme, yaitu [12]: pertama, pluralisme agama dapat digunakan untuk mendeskripsikan cara pandang (worldview) bahwa agama yang dianut seseorang bukan merupakan satu-satunya kebenaran dan sumber kebenaran. Kedua, pluralisme agama sering dipandang sebagai sinonim dari ekumenisme, atau minimal mendorong upaya-upaya untuk mewujudkan persatuan. Ketiga, pluralisme agama dipandang sebagai sinonim dari toleransi keagamaan, yang merupakan syarat bagi terciptanya koeksistensi yang harmonis dan damai di antara pemeluk agama yang berbeda atau di antara berbagai aliran dalam sebuah agama.
Dalam fatwanya, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mendefinisikan pluralisme agama sebagai suatu faham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan akrenanya kebenaran setiap agama adalah relatif, oleh akrena itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah.[13]
Terkait dengan fenomena pluralisme agama, kaum muslim Indonesia terbagi dalam dua faksi, yakni menolak dan menerima fenomena pluralisme. Yang menolak fenomena pluralisme dilatarbelakangi oleh beberapa persepsi. Pertama, pluralitas diakui sebagai sunnatullah, pluralisme dianggap sebagai ancaman, yaitu sebagai ancaman terhadap akidah. Kedua, dasar pemikirannya adalah dalam pluralitas, kebenaran mutlak akan digantikan dengan kebenaran relatif. Kebenaran tidak lagi tunggal melainkan plural. Ketiga, ancaman terhadap eksistensi agama akan timbul dengan diakuinya kebenaran agama-agama sehingga dikhawatirkan akan terjadi sinkretisasi agama-agama yang akan melahirkan agama publik (public religion) yang meramu ajaran semua agama.
Sementara yang menerima pluralisme agama mendasarkan diri pada alasan bahwa pluralisme adalah hukum alam. Berdasarkan pada al-qur’an surah al-Baqarah (2) ayat 62 yang menyatakan : Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani, dan orang-orang Shabi’in, siapa saja diantara mereka yang beriman kepada Allah dan hari akhir dan melakukan kebajikan, mereka mendapat pahala dari Tuhannya, tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati. Agama itu berbeda-beda dari segi aturan hidupnya (syariat) dan pandangan hidupnya (akidah). Karena itu, pluralisme sama sekali tidak berarti semua agama itu sama. Perbedaan sudah menjadi kenyataan. Keragaman agama itu dimaksudkan untuk mengujia kita semua. Seberapa banyak kita memberikan kontribusi kebaikan kepada umat manusia. Semua agama itu akan kembali kepada Allah. Islam, Hindu, Buddha, Nasrani, Yahudi kembalinya kepada Allah.
Islam yang benar adalah agama yang tidak menutup diri, mengajak kepada keterbukaan, menganut prinsip kebebasan dengan penuh toleransi. Dengan kata lain, islam tegasnya kaum muslimin berkewajiban untuk mempertahankan tradisi pluralisme, toleransi, dan kebebasan dalam beragama. Penghayatan pluralisme agama merupakan pandangan bahwa siapapun yang beriman adalah sama dihadapan Allah. [14]
D. Kesetaraan Gender
Menguraikan persoalan hubungan laki-laki dan perempuan dengan merujuk sumber ajaran, dapat menimbulkan beda pendapat. Dalam kaitannya dengan persoalan laki-laki dam perempuan, prinsip dasar Al-Qur’an sesungguhnya memperlihatkan pandangan yang egaliter. Buktinya terdapat sejumlah ayat Al-Qur’an yang menyatakan demikian, misalnya dalam surah al-Hujurat/16 ayat 97: Hai manusia, kami telah menciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan, dan kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia diantara kamu disisi Allah adalah yang paling taqwa.
Kurun waktu yang sangat panjang dirasakan benar bahwa kenyataan sosial dan budaya memperlihatkan hubungan laki-laki dan perempuan yang timpang, kaum perempuan masih diposisikan sebagai bagian dari laki-laki. Posisi perempuan yag seperti itu dikarenakan faktor ideologi dan budaya yang memihak laki-laki, juga dijustifikasi oleh pemikiran kaum agamawan. Pada umumnya, orang melihat perempuan sebagai makhluk yang lemah, sementara laki-laki kuat; perempuan emosional, dan laki-laki rasional; perempuan halus, laki-laki kasar; dan seterusnya. Perbedaan ini kemudian diyakini sebagai ketentuan kodrat atau merupakan pemberian Tuhan. Oleh karena itu, ia bersifat tetap dan tidak dapat diubah. Mengubah hal tersebut dianggap sebagai menyalahi kodrat atau bahkan menentang kehendak Tuhan. Ini yang ditantang oleh kaum feminis. Oleh karena itu, mereka membedakan antara gender dengan seks.
Disusunlah tafsir dengan berbagai pendekatan modern yang melihat relasi laki-laki dan perempuan yang tidak biasa dan bercita rasa keadilan, sehingga terwujudnya prinsip-prinsip kesetaraaan gender dalam Al-Qur’an seperti laki-laki dan perempuan sama-sama sebagai hamba Tuhan; laki-laki dan perempuan sama-sama sebagai khalifah; laki-laki dan perempuan menerima perjanjian primordial; adam dan hawa sama-sama terlibat secara aktif dalam drama kosmis serta laki-laki dan perempuan sama-sama berpotensi meraih prestasi.[15]
Gender menjadi isu yang penting dalam rangka membangun relasi yang setara antara laki-laki dan perempuan. Hal ini sejalan dengan perkembangan di mana keterlibatkan perempuan dalam wilayah publik sendiri mendesakkan perlunya kesadaran gender. Islam mendeklarasikan laki-laki dan perempuan mempunyai hak dan kewajiban yang sama dihadapan Tuhan. [16] Disparitas antara nilai-nilai kesetaraan laki-laki dan perempuan yang di ajarkan islam dengan kehidupan praksis masih berlangsung sampai sekarang. Disamping budaya masyarakat patriarkis, ternyata teks agama juga terlibat dalam melanggengkan praktek diskriminasi terhadap perempuan. Hal ini dapat ditunjukkan dengan adanya ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits yang mesogini (memarjinalkan perempuan), contohnya tentang warisan perempuan yang harga-nya separo dari laki-laki.
Untuk menghilangkan disparitas kedudukan dan posisi perempuan antara yang diajarkan islam dengan realitas masyarakat, dapat dilakukan dengan:
Dekonstruksi terhadap tafsiran-tafsiran yang bias gender
Rekonstruksi, yaitu kerja intelektual yang kritis terhadap teks-teks keagamaan yang dijadikan pedoman. Kata kuncinya adalah reinterpretasi terhadap ayat-ayat suci Al-Qur’an dan Hadits Nabi dengan persfektif keadilan gender. [17]
Sampai sekarang masih banyak penafsiran ayat al-Qur’an yang diterjemahkan dan dipahami menurut pola pandang patriarchal. Artinya, masih menonjolkan kepentingan laki-laki. Akibatnya, kepentingan laki-laki lebih diunggulkan. Padahal sebenarnya islam adalah agama yang memihak kaum perempuan. Sebagai contoh, “poligami” beberapa pendapat menyatakan bahwa poligami itu boleh, namun sebaiknya mengkaji al-Qur’an lebih dalam. Berikut ayat tentang poligami : nikahilah dua atau tiga atau empat perempuan yang baik. Ayat ini jangan jangan dipotong disitu saja, umumnya orang memotong sampai penggalan ayat tersebut. Padahal, ada sambungannya yang sering dilupakan. Lanjutannya berbunyi : sekiranya kamu khawatir tidak dapat berlaku adil, maka kawini satu perempuan saja maksud dari adil disini tidak hanya berupa nateri tapi immaterial seperti cinta, kasih sayang, perhatian, dan lain sebagainya. Jadi, yang dituntut dalam ayat ini yang sering dijadikan justifikasi teologi poligami tersebut adalah keadilan immaterial. Banyak juga Nabi saw. Yang tidak membolehkan. Salah satu misi Rasulullah, adalah mengangkat harkat dan martabat perempuan. Tujuan Allah mengutus Rasulullah adalah untuk membebaskan kaum perempuan.
Secara normatif semua agama adalah antikekerasan. Penegakan keadilan gender akan semakin terberdayakan. Kita harus mampu menciptakan ruang yang adil, damai, dan cerah bagi kehidupan, sehingga kekerasan dapat kita lawan dengan kelembutan hati, kepekaan nurani perempuan. Alangkah indahnya dunia ini, jika perempuan yang merupakan mayoritas makhluk tuhan yang menjadi pelopor antikekerasan ditengah kehidupan dengan hati, kerahiman, dan kasih sayang.
BAB III
PENUTUP
E. Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat saya simpulkan :
1. Islam liberal adalah sebuah ideologi indoktriner yang lebih menekankan pada kebebasan individu dalam mengimplementasikan dan mengaktualisasikan nilai-nilai ajaran islam. Instrumen yang dikedepankan dalam islam liberal adalah berfikir empiric dan rasional. Gagasan islam liberal berusaha memadukan islam dengan situasi modernitas sebagai sesuatu yang tidak dapat dielakkan, sehingga islam tetap mampu menjawab perubahan sosial yang secara terus menerus terjadi.
2. Terorisme merupakan ajaran dan aktivitas untuk menciptakan kekhawatiran dengan tujuan pokok mengubah kebijakan dengan tindak kekerasan sebagai instrumen di Indonesia. Gerakan komando jihad juga sulit dianggap teroris karena tidak memiliki ideologi dan tujuan yang jelas serta berskala kecil. Sementara, peledakan bom jelas merupakan teror, karena menciptakan kekhawatiran yang luar biasa. Terorisme adalah tindakan untuk mencapai cita-cita politik yang dibungkus dalam kekerasan guna menciptakan teror dan memakan korban rakyat sipil yang tidak berdosa.
3. Pluralisme beragama merupakan salah satu konsep fundamental, yang belakangan ini muncul sejalan dengan berbagai kebutuhan masyarakat modern. Berbagai bangsa melihat pluralisme sebagai suatu sistem bagi kehidupan manusia, yang didasarkan kepada prinsip-prinsip bersama, yang menjamin dihormatinya berbagai realitas yang plural dan diakuinya keragaman orientasi yang dianut warga negara.
4. Kesetaraan gender merupakan bagian dari gerakan sosial kaum perempuan yang berusaha untuk memperjuangkan haknya agar mendapatkan pengakuan yang sama dalam kehidupan sosial, individu, dan pemerintahan. Kesetaraan gender yang lebih dikenal dengan feminisme adalah isu kontemporer dalam dunia islam. Hal seperti itu muncul pada zama modern akibat dari penindasan terhadap hak-hak wanita yang telah terjadi.
F. Rekomendasi
Demikian makalah yang dapat saya paparkan. Tak lupa permohonan maaf saya haturkan kepada pembaca atas kekhilafan dalam makalah ini. Kritik dan saran sangat diharapkan demi kesemprnaan makalah pada khususnya, dan makalah selanjutnya pada umumnya. Semoga bermanfaat, dan tetap semangat!!!
DAFTAR PUSTAKA
Susanto, Edi. Dimensi Studi Islam Kontemporer. Jakarta: PRENADAMEDIA GROUP,2016.
Khoiriyah. Memahami Metodologi Studi Islam. Yogyakarta: Teras,2013.
Bakhtiar, Nurhasanah, dan Marwan. Metodologi Studi Islam. Pekanbaru: CAHAYA FIRDAUS,2016
Jennah, Rodhatul, dkk. Isu-Isu Dunia Islam Kontemporer. Yogyakarta: K-Media,2021
Ibnudin. (2019). Pemikiran Isu-Isu Kontemporer Dalam Dunia Keislaman. Al- Afkar, Journal for Islamic Studies. Vol. 2, No.1, January
[1] Bakhtiar Nurhasanah, dan Marwan, Metodologi Studi Islam, (Pekanbaru: CAHAYA FIRDAUS, 2016) , h. 168
[2] Jennah Rodhatul, dkk, Isu-Isu Dunia Islam Kontemporer, (Yogyakarta: K-MEDIA,2021), h. 37
[3] Bakhtiar Nurhasanah, dan Marwan, Metodologi Studi Islam, (Pekanbaru: CAHAYA FIRDAUS, 2016), h. 171
[4] KH. Ma’ruf Amin-ketua Komisi Fatwa MUI-menjelaskan bahwa liberalisme adalah upaya memberikan penafsiran terhadap ajaran islam diluar kaidah-kaidah yang telah disepakati (quwaid al-tafsir al-nushush), dalam mana hal demikian terjadi karena dalam menafsirkan nash menggunakan hermeneutika, dan penggunaan hermeneutika adalah tidak lazim dalam islam. Periksa Budhy Munawar Rachman, Reorientasi Pembaruan Islam:Sekularisme,Liberalisme, dan Pluralisme Paradigma Baru Islam Indonesia,(Jakarta:LSAF-Paramadina,2010), h.319
Susanto Edi, Dimensi Studi Islam Kontemporer, (Jakarta: PRENADAMEDIA GROUP,2016), h.136
[5] Susanto Edi, Dimensi Studi Islam Kontemporer, (Jakarta: PRENADAMEDIA GROUP,2016), h.139-140
[6] Lukman S. Thahir, Gagasan Islam Liberal Muhammad Iqbal, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya,2002).
[7] Ibnudin, Pemikiran Isu-Isu Kontemporer Dalam Dunia Islam, Jurnal for Islamic Studies al-Afkar, Vol. 2, No.1 January 2019
[9] Ibnudin, Pemikiran Isu-Isu Kontemporer Dalam Dunia Islam, Jurnal for Islamic Studies al-Afkar, Vol. 2, No.1 January 2019
[10] Fauzan Saleh, Kajian Filsafat tentang Keberadaan Tuhan dan Pluralisme Agama, (Kediri:STAIN Kediri Press,2011), h.171
[11] Moh. Shofan, Pluralisme Menyelamatkan Agama-agama, (Yogyakarta:Samudra Biru,2011), h.68-69
Susanto Edi, Dimensi Studi Islam Kontemporer, (Jakarta: PRENADAMEDIA GROUP,2016), h.140
[12] Saleh, Kajian Filsafat tentang Keberadaan Tuhan, h.173
Susanto Edi, Dimensi Studi Islam Kontemporer, (Jakarta: PRENADAMEDIA GROUP,2016), h.141
[13] Zinal Abidin Bakir, dkk., Pluralisme Kewargaan: Arah Baru Politik Keragaman di Indonesia, Yogyakarta: Program Studi Agama dan Lintas Budaya ( Center For Relegious and Crosscultural Studies / CRCS ) Sekolah Pascasarjana, Universtas Gadjah Mada bekerja sama dengan penerbit Mizan, 2011, h.25
[14] Budi Munawar Rahman (ed.), Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, Jakarta: Paramadina,1994:194
Khoiriyah, Memahami Metodologi Studi Islam, (Yogyakarta: Teras,2013), h. 211
[15] Umar, Argumen Kesetaraan, h.247-264
[16] Harirah, Islam Mengangkat Derajat Perempuan, dalam Buletin Jum’at An-Nadhar, Edisi 10/30 Januari 2003, h.1
[17] Khoiriyah, Memahami Metodologi Studi Islam, (Yogyakarta: Teras,2013), h. 224