MAKALAH PENGANTAR STUDI ISLAM-SUMBER AJARAN ISLAM (AL-QUR’AN, HADITS DAN IJTTIHAD)
MAKALAH PENGANTAR STUDI ISLAM
SUMBER AJARAN ISLAM
(AL-QUR’AN, HADITS DAN IJTTIHAD)
DOSEN PENGAMPU: NOOR EFENDY, SHI, MH
Disusun oleh: Kelompok 4
Riska Amelia : 2022110892
Latifah : 2022110889
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM DARUL ULUM KANDANGAN
2022
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat dan hidayah-Nya, kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Sumber Ajaran Islam” dengan tepat waktu.
Makalah disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Pengantar Studi Islam. Tak lupa penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada bapak. Noor Efendy, SHI, MH selaku dosen pengampu, juga kepada semua pihak yang telah membantu hingga diselesaikannya makalah ini.
Dalam membuat makalah ini, dengan keterbatasan ilmu pengetahuan yang dimiliki, kami berusaha mencari sumber data dari berbagai sumber informasi, terutama dari media buku dan beberapa sumber lainnya.
Selanjutnya, kami menyadari bahwa penyusunan makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, saran dan kritik dari semua pihak sangat diharapkan demi perbaikan makalah di masa mendatang. Akhirnya kami berharap, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan bagi kami khususnya.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Daha Utara, 15 September 2022
Kelompok 4
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ................................................................................... ii
DAFTAR ISI .................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ........................................................................................ 4
B. Rumusan Masalah ................................................................................... 5
C. Tujuan Penulisan ..................................................................................... 5
BAB II PEMBAHASAN
A. Alquran.................................................................................................... 7
B. Hadits ...................................................................................................... 12
C. Ijtihad ..................................................................................................... 18
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................................. 27
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 29
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Islam sebagai syariat penutup dari semua syariat yang telah Allah Swt. turunkan dimuka bumi ini, merupakan satu-satunya ajaran yang cocok dan sesuai untuk semua ruang, waktu dan kondisi. Islam tidak hanya mengatur masalah yang terbatas pada masa tertentu, akan tetapi ajarannya mampu tampil sebagai wasit dalam memberikan solusi terhadap berbagai masalah yang dihadapi manusia dan alam semesta termasuk masalah-masalah klasik dan kontemporer. Oleh karena pintu ijtihad selalu terbuka dan memberi peluang bagi segenap para cendikia untuk memberi terobosan hukum baru yang dibutuhkan.
Definisi sumber menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia adalah asal sesuatu. Sumber hukum Islam adalah asal tempat pengambilan hukum Islam. Dalam kepustakaan hukum Islam, sumber hukum Islam sering diartikan dengan dalil hukum Islam atau pokok hukum Islam atau dasar hukum Islam.[1]
Sumber ajaran Islam merupakan dalil-dalil tempat berpijaknya setiap kebijakan hukum Islam. Menurut Imam al-Amidiy, dalil yang merupakan bentuk tunggal dari al-Adillah menurut bahasa adalah pedoman yang dapat mengarahkan kepada sesuatu baik secara eksplisit maupun secara implisit. Sedangkan secara istilah, dalil adalah sesuatu yang bisa menyampaikan kepada kesimpulan hukum melalui serangkaian perangkat teori yang teruji.[2]
Selain itu, sumber hukum Islam juga merupakan suatu rujukan, landasan, atau dasar yang utama dalam pengambilan hukum Islam. Hal tersebut menjadi pokok ajaran Islam sehingga segala sesuatu haruslah bersumber atau berpatokan kepadanya. Hal tersebut menjadi pangkal dan tempat kembalinya segala sesuatu. Ia juga menjadi pusat tempat mengalirnya sesuatu.[3]
Sumber adalah tempat pengambilan, rujukan atau acuan dalam penyelenggaraan ajaran Islam, karena itulah sumber memiliki peranan yang sangat penting bagi pelaksanaan ajaran Islam. Dari sumber inilah umat Islam dapat memiliki pedoman-pedoman tertentu untuk melaksanakan proses ajaran Islam.[4]
Menurut Mahmud Syaltut sumber hukum Islam ada tiga, yaitu Al-Quran, As-Sunnah, dan Ar-Ra’yu (Ijtihad). Menurutnya, istilah ar-ra’yu sama dengan ijtihad. Pendapat Mahmud Syaltut itu lebih sesuai dengan hadits Nabi saw. yang berupa dialog antara beliau dengan Muaz bin Jabal pada waktu akan diutus ke Yaman.
“Bagaimana engkau dapat memutuskan jika kepadamu diserahkan urusan peradilan? Ia menjawab, ‘Saya akan memutuskannya dengan Kitabullah.’ Bertanya lagi Nabi saw., ‘Bila tidak kau jumpai dalam kitabullah?’ Ia menjawab, ‘Dengan sunah Rasulullah saw.’ Lalu Nabi bertanya, ‘Bila tidak kau dapati dalam sunah Rasulullah dan tidak pula dalam Kitabullah?’ Ia menjawab, ‘Saya lakukan ijtihad bi ar-ra’yi dan saya tidak akan mengurangi (dan tidak berlebih-lebihan).’ Berkatalah Muaz, ‘Maka Nabi menepuk dadaku dan bersabda, ‘Segala puji bagi Allah yang telah memberi
taufik kepada utusan Rasulullah, sebagaimana Rasulullah telah meridlainya.”
Hadits ini menunjukkan tata tertib atau urutan penggunaan dalil-dalil tersebut. Pada hakikatnya dalil syar’i hanya satu saja, yatu alquran, sebab semua dalil yang lainnya hanya merupakan penjelasan alquran. Kesemua dalil itu tidak boleh bertentangan dengan alquran.[5]
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa saja sumber ajaran Islam?
2. Jelaskan masing-masing dari sumber ajaran Islam tersebut!
C. TUJUAN PENULISAN
Untuk mengetahui dan memahami tentang sumber ajaran Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A. AL-QUR’AN
1. Pengertian Al-Qur’an
Dari segi bahasa, alquran berasal dari kata qara’a – yaqra’u – qirā’atan – qur’ānan, yang berarti sesuatu yang dibaca atau bacaan. Dari segi istilah, al-Qur’ān adalah Kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. dalam bahasa Arab, yang sampai kepada kita secara mutawattir, ditulis dalam musḥaf, dimulai dengan surah al-Fātiḥah dan diakhiri dengan surah an-Nās, membacanya berfungsi sebagai ibadah, sebagai mukjizat Nabi Muhammad saw. dan sebagai hidayah atau petunjuk bagi umat manusia. Allah Swt. berfirman:
¨bÎ) #x»yd tb#uäöà)ø9$# Ïöku ÓÉL¯=Ï9 Ïf ãPuqø%r& çÅe³u;ãur tûüÏZÏB÷sßJø9$# tûïÏ%©!$# tbqè=yJ÷èt ÏM»ysÎ=»¢Á9$# ¨br& öNçlm; #\ô_r& #ZÎ6x. ÇÒÈ
Artinya: “Sungguh, al-Qur’ān ini memberi petunjuk ke (jalan) yang paling lurus dan memberi kabar gembira kepada orang mukmin yang mengerjakan kebajikan, bahwa mereka akan mendapat pahala yang besar.” (Q.S. al-Isrā/17:9)[6]
Ada juga sumber lain mengatakan bahwa Al-Qur’an secara harfiah berarti “bacaan sempurna” merupakan suatu nama pilihan Allah yng sungguh tepat, karena tiada satu bacaanpun sejak anusia mengenl baca tulis yang dapat menandingi Al-Qur’an al-Karim, secara terminologi Al-Qur’an adalah kitab suci yang diwahyukan Tuhan kepada Nabi Muhammad SAW. Yang diampaikan lewat malaikat jibril, yang dikomunikasikan dengn bahasa arab, harus dipercayai tanpa syarat dan menjadi pedoman bagi para pengikutnya yaitu umat Islam diseluruh dunia.[7]
Dalam definisi Al-Quran yang cukup panjang ini memuat delapan unsur, pertama sumbernya, yaitu Allah swt, kedua pembawanya (perantara) yaitu Jibril (Ruhul Qudus), ketiga yang menerima yaitu Nabi Muhammad saw, keempat cara penyampaian yaitu diwahyukan, kelima bentuk wahyu yang diturunkan berupa ayat-ayat dan surah, keenam periode penurunan wahyu selama 23 tahun, ketujuh mengenai isi Al-Quran yaitu mushaf (kitab) yang ada pada umat Islam sekarang yang berisi Surah al-Fatihah hingga Surah an-Nas, kedelapan, definisi ini memuat peranan Al-Quran yaitu sebagai bukti nyata yang bersifat mu’jiz (mengalahkan pendapat yang lain) yang proses penyampaian antargenerasi manusia di alam ini dengan sanad (mata rantai pesan) yang paling akurat atau disebut dengan istilah mutawatir mutlak.[8]
Pengertian Al-Qur’an dari segi terminologinya dapat dipahami dari pandangan beberapa ulama, bahwa:
a) Muhammad Salim Muhsin dalam bukunya “Tarikh Al-Qur’an al-Karim” menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah firman Allah yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW. Yang ditulis dalam mushaf-mushf dan dinukilkan/ diriwayatkan kepada kita dengan jalan mutawatir dan membacanya dipandang ibadah serta sebagai penentang (bagi yang tidak percaya) ataupun surat terpendek.
b) Abdul Wahab Khalaf mendefinisikan Al-Qur’an sebagai firman Allah SWT yang diturunkan melalui Roh al-Amin (Jibril) kepada nabi Muhammad SAW. Dengan bahasa arab, isinya dijamin kebenarannya, dan sebagai hujah kerasulannya, undang-undang bagi seluruh manusia dan petunjuk dalam beribadah serta dipandang ibadah dalam membacanya, yang terhimpun dalam mushaf yang dimulai dari surat al-Fatihah dan diakhiri surat an-Nas, yang diriwayatkan kepada kita dengan jalan mutawatir.
c) Muhammad abduh mendefinisikan Al-Qur’an sbagai kalam mulia yang diturunkan oleh Allah SWT kepada nabi yang paling smpurna (Muhammad SAW) ajarannya mencakup keseluruhan ilmu pengetahuan, ia merupakan sumber yang mulia yang esensinya tidak dimengerti kecuali bagi orang yang berjiwa suci daan berakal cerdas.
2. Kedudukan al-Qur’ān sebagai Sumber Hukum Islam
Sebagai sumber hukum Islam, al-Qur’ān memiliki kedudukan yang sangat tinggi. Al-Qur’ān merupakan sumber utama dan pertama sehingga semua persoalan harus merujuk dan berpedoman kepadanya. Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt. dalam al-Qur’ān:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَاُولِى الْاَمْرِ مِنْكُمْۚ فَاِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ اِلَى اللّٰهِ وَالرَّسُوْلِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ ذٰلِكَ خَيْرٌ وَّاَحْسَنُ تَأْوِيْلًا ࣖ
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul-Nya (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah Swt. (al-Qur’ān) dan Rasu-Nyal (sunnah), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (Q.S. an- Nisā’/4:59).[9]
Dalam sebuah Hadits yang bersumber dari Imam Bukhari dan Imam Muslim, Rasulullah saw. bersabda: “... Amma ba’du wahai sekalian manusia, bukankah aku sebagaimana manusia biasa yang diangkat menjadi rasul dan saya tinggalkan bagi kalian semua ada dua perkara utama/besar, yang pertama adalah kitab Allah yang di dalamnya terdapat petunjuk dan cahaya/ penerang, maka ikutilah kitab Allah (al-Qur’ān) dan berpegang teguhlah kepadanya ...” (H.R. Muslim).
Berdasarkan ayat dan Hadits di atas, jelaslah bahwa al-Qur’ān adalah kitab yang berisi sebagai petunjuk dan peringatan bagi orang-orang yang beriman. Al-Qur’ān sumber dari segala sumber hukum baik dalam konteks kehidupan di dunia maupun di akhirat kelak. Namun demikian, hukum- hukum yang terdapat dalam Kitab Suci al-Qur’ān ada yang bersifat rinci dan sangat jelas maksudnya, dan ada yang masih bersifat umum dan perlu pemahaman mendalam untuk memahaminya.[10]
3. Kandungan Hukum dalam Al-Qur’ān
Para ulama mengelompokkan hukum yang terdapat dalam Al-Qur’ān ke dalam tiga bagian, yaitu seperti berikut.
a) Akidah atau Keimanan
Akidah atau keimanan adalah keyakinan yang tertancap kuat di dalam hati. Akidah terkait dengan keimanan terhadap hal-hal yang gaib yang terangkum dalam rukun iman (arkānu imān), yaitu iman kepada Allah Swt. malaikat, kitab suci, para rasul, hari kiamat, dan qada/qadar Allah Swt.
b) Syari’ah atau Ibadah
Hukum ini mengatur tentang tata cara ibadah baik yang berhubungan langsung dengan al-Khāliq (Pencipta), yaitu Allah Swt. yang disebut
‘ibadah maḥḍah, maupun yang berhubungan dengan sesama makhluknya yang disebut dengan ibadah gairu maḥḍah. Ilmu yang mempelajari tata cara ibadah dinamakan ilmu fikih.
(1) Hukum Ibadah
Hukum ini mengatur bagaimana seharusnya Pelaksanakan ibadah yang sesuai dengan ajaran Islam. Hukum ini mengandung perintah untuk mengerjakan śalat, haji, zakat, puasa, dan lain sebagainya.
(2) Hukum Mu’amalah
Hukum ini mengatur interaksi antara manusia dan sesamanya, seperti hukum tentang tata cara jual-beli, hukum pidana, hukum perdata, hukum warisan, pernikahan, politik, dan lain sebagainya[11]
(3) Akhlak atau Budi Pekerti
Selain berisi hukum-hukum tentang akidah dan ibadah, al-Qur’ān juga berisi hukum-hukum tentang akhlak. Al-Qur’ān menuntun bagaimana seharusnya manusia berakhlak atau berperilaku, baik berakhlak kepada Allah Swt., kepada sesama manusia, dan akhlak terhadap makhluk Allah Swt. yang lain.[12]
B. HADITS
1. Pengertian Hadits
Hadits ialah suatu perkataan atau berita. Hadits ialah suatu perkataan, informasi dari Rasulullah SAW. Sedangkan al-Sunnah merupakan jalan hidup yang dilewati atau di jalani atau suatu yang telah dibiasakan.[13]
Secara terminologi, para ahli hadits mengartikan sunah/hadits sebagai “Segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Muhammad saw. dalam bentuk qaul (ucapan), fi’il (perbuatan), taqrîr (ketetapan), perangai, dan sopan santun ataupun sepak terjang perjuangannya, baik sebelum maupun setelah diangkatnya jadi Rasul.[14]
Haditst Nabi SAW merupakan penafsiran Al-Quran dalam praktik atau penerapan ajaran Islam secara faktual dan ideal. Demikian ini mengingat bahwa pribadi Rasulullah merupakan perwujudan dari Al-Quran yang ditafsirkan untuk manusia, serta ajaran Islam yang dijabarkan dalam kehidupan sehari-hari.[15]
2. Kedudukan Hadits atau Sunnah sebagai Sumber Hukum Islam
Sunah sebagai dasar hukum (dalil) menduduki urutan kedua setelah al-Quran. Sunah juga bisa menjadi hujjah, sumber hukum dan menjadi tempat mengistinbatkan hukum syara’ karena didasarkan pada beberapa dalil, di antaranya:
an) Allahh memerintahkan umatnya untuk taat kepada Rasulullah sebagai bentuk ketaatan
Artinya: Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya
b) Rasulullah mempunyai wewenang untuk menjelaskan alquran, seperti dijelaskan dalam firman Allah:
Artinya: “Barang siapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah menaati Allah. Dan barang siapa yang berpaling dari ketaatan itu, maka kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka”(An-Nisa: 80).[16]
Banyak peristiwa yang menunjukan adanya kesepakatan menggunakan hadits sebagai sumber hukum Islam, antara lain:
a) Ketika abu bakar di baiat menjadi kholifah, ia pernahberkata “saya tidak meninggalkan sedikitpun sesuatu yang diamalkan/dilaksanakan oleh Rasulullah, sesungguhnya saya takut tersesat bila meninggalkan perintahnya”.
b) Saat umar berada di hajar aswad ia berkata: “saya tahu bahwa engkau adalah batu. Seandainya saya tidak melihat Rasulullah menciummu, saya tidak akan menciummu”.
c) Diceritakan dari Sa’i bin Musayyab bahwa ‘usman bin ‘affan berkata: ”saya duduk sebagaimana duduknya Rasulullah, saya makan sebagaimana makannya Rasulullah dan saya sholat sebagaimana Sholatnya Rasulullah[17]
Untuk mengukuhkan validitas sunnah sebagai otoritatif hukum Islam. Al-syafi’i mengajukan analisis terhadap kata al-hikmah dalam Al-Qur’an. Dalam banyak Al-Qur’an, kata tersebut selalu bergandengan dengan kata al-kitab (Al-Qur’an)[18].
Namun al-syafi’i menyimpulkan bahwa yang dimaksud al-kitab adalah Al-Qur’an, sedangkan yang dimaksud al-hikmah adalah sunnah atau al-hadits. Dalam sejarah tercatat, ada sekelompok kecil umat Islam yang menolak adanya sunnah atau hadits sebagai salah satu sumber hukum Islam. Dikenal sebagai inkar al-sunnah dan munkir al-sunnah. Adanya kelompok tersebut diketahui melalui tulisan al-syafi’i yang dikelompokkan dalam tiga golongan:
a) Golongan yang menolak sunnah secara keseluruhan
b) Golongan yang menolak sunnah kecuali jika sunnah itu memiliki kesamaan denga petunjuk Al-Qur’an
c) Golngan yang menolak sunnah yang berstatus ahad[19]
Hadits atau sunnah sebagai sumber hukum Islam tidak hanya untuk kaitannya dalam hal iadah, akan tetapi juga dalam masalah masyarakat sosial. Eksistensi sunnah atau hadits dapat sumber hukum Islam dapat dilihat dari beberapa argumen Al-Qur’an, ijma’ maupun argumen rasional.
3. Fungsi Hadits
Umat Islam telah sepakat bahwa hadits merupakan sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an. Dan tidak boleh seorang muslim hanya mencukupkan diri dengan salah satu dari kedua sumber Islam tersebut. Al-Qur’an dan hadits merupakan dua sumber hukum Islam yang tetap. Umat Islam tidak mungkin dapat memahami tentang syari’at Islam dengan benar sesuai dengan tanpa Al-Qur’an dan Hadits. Banyak dari ayat Al-Qur’an yang menerangkan bahwa hadits merupakan sumber hukum Islam selain Al-Qur’an yang wajib diikuti. Baik itu dalam hal perintah ataupun larangan. Al-Syatibiy dalam kaitan ini mengajukan tiga argumen. Pertama, sunnah merupakan penjabaran dari Al-Qur’an. Secara rasional, sunnah sebagai penjabaran (bayan) harus menempati posisi lebih rendah dari yang dijabarkan (mubayyan) yakni Al-Qur’an. Apabila Al-Qur’an sebagai mubayyan tidak ada, maka hadits sebagai bayyan tidak diperlukan. Akan tetapi jika tidak ada bayyan, maka mubayyan tidak hilang. Kedua, Al-Qur’an bersifat qat’iy al-subut, sedangkan sunnah bersifat zanniy al-subut. Ketiga, secara tekstual terdapat beberapa riwayat yang menunjukkan kedudukan sunnah setelah Al-Qur’an seprti hadits yang sangat populer mengenai pengutusan Mu’az Ibn Jabal menjadi hakim di Yaman. Semuanya menunjuka subordinasi sunnah sebagai dalil terhadap Al-Qur’an[20]
Fungsi Hadits terhadap al-Qur’ān dapat dikelompokkan menjadi empat yaitu sebagai berikut.
a) Menjelaskan ayat-ayat al-Qur’ān yang masih bersifat umum Contohnya adalah ayat al-Qur’ān yang memerintahkan śalat. Perintah śalat dalam al-Qur’ān masih bersifat umum sehingga diperjelas dengan Hadits-Hadits Rasulullah saw. tentang śalat, baik tentang tata caranya maupun jumlah bilangan raka’at-nya.
b) Memperkuat pernyataan yang ada dalam al-Qur’ān Seperti dalam al-Qur’ān terdapat ayat yang menyatakan,
`yJsù yÍky ãNä3YÏB tök¤¶9$# çmôJÝÁuù=sù ( ÇÊÑÎÈ
“Barangsiapa di antara kalian melihat bulan, maka berpuasalah!” (QS. Al Baqarah:185)
Kemudian ayat tersebut diperkuat oleh sebuah Hadits yang berbunyi,
صُوْمُوْا
لِرُؤْيَتِهِ وَ أَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ
“... berpuasalah karena melihat bulan dan berbukalah karena melihatnya ...” (H.R. Bukhari dan Muslim).
c) Menerangkan maksud dan tujuan ayat yang ada dalam al-Qur’ān Misal, dalam Q.S. at-Taubah/9:34 dikatakan,
“Orang-orang yang menyimpan emas dan perak, kemudian tidak membelanjakannya di jalan Allah Swt., gembirakanlah mereka dengan azab yang pedih!”
Ayat ini dijelaskan oleh Hadits yang berbunyi, “Allah Swt. tidak mewajibkan zakat kecuali supaya menjadi baik harta-hartamu yang sudah dizakati.” (H.R. Baihaqi).
d) Menetapkan hukum baru yang tidak terdapat dalam al-Qur’ān Maksudnya adalah bahwa jika suatu masalah tidak terdapat hukumnya dalam al-Qur’ān, diambil dari Hadits yang sesuai. Misalnya, bagaimana hukumnya seorang laki-laki yang menikahi saudara perempuan istrinya.[21]
4. Macam-Macam Hadits
Ditinjau dari segi perawinya, Hadits terbagi ke dalam tiga bagian, yaitu seperti berikut.
a) Hadits Mutawattir, adalah Hadits yang diriwayatkan oleh banyak perawi, baik dari kalangan para sahabat maupun generasi sesudahnya dan dipastikan di antara mereka tidak bersepakat dusta.
b) Hadits Masyhur, adalah Hadits yang diriwayatkan oleh dua orang sahabat atau lebih yang tidak mencapai derajat mutawattir, namun setelah itu tersebar dan diriwayatkan oleh sekian banyak tabi’in sehingga tidak mungkin bersepakat dusta.
c) Hadits Aĥad, adalah Hadits yang hanya diriwayatkan oleh satu atau dua orang perawi, sehingga tidak mencapai derajat mutawattir.
Dilihat dari segi kualitas orang yang meriwayatkannya (perawi), Hadits dibagi ke dalam tiga bagian, yaitu sebagai berikut.
a) Hadits Śaḥiḥ adalah Hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, kuat hafalannya, tajam penelitiannya, sanadnya bersambung kepada Rasulullah saw., tidak tercela, dan tidak bertentangan dengan riwayat orang yang lebih terpercaya. Hadits ini dijadikan sebagai sumber hukum dalam beribadah (hujjah).
b) Hadits Ḥasan, adalah Hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, tetapi kurang kuat hafalannya, sanadnya bersambung, tidak cacat, dan tidak bertentangan. Sama seperti Hadits śaḥiḥ, Hadits ini dijadikan sebagai landasan mengerjakan amal ibadah.
c) Hadits da’īf, yaitu Hadits yang tidak memenuhi kualitas Hadits śaḥiḥ dan Hadits Ḥasan. Para ulama mengatakan bahwa Hadits ini tidak dapat dijadikan sebagai hujjah, tetapi dapat dijadikan sebagai motivasi dalam beribadah.
d) Hadits Maudu’, yaitu Hadits yang bukan bersumber kepada Rasulullah saw. atau Hadits palsu. Dikatakan Hadits padahal sama sekali bukan Hadits. Hadits ini jelas tidak dapat dijadikan landasan hukum, Hadits ini tertolak.[22]
C. IJTIHAD
1. Pengertian Ijtihad
Ijtihad berasal dari bahasa Arab yang berarti ‟mengerahkan kemampuan” Kata tersebut kemudian berkembang menjadi bahasa hukum Islam yang menunjuk pada upaya maksimal dalam rangka memperoleh ketetapan hukum berdasarkan sumber-sumber ajaran Islam, Alquran dan sunnah/Hadits. Dengan demikian, ijtihad lebih merupakan sebuah metode pengambilan ketetapan hukum mengenai masalah-masalah tertentu yang berkembang di masyarakat, yang dilakukan dengan mengacu pada Alquran dan sunnah atau Hadits.[23]
Ijtihad memiliki arti kesungguhan, yaitu mengerjakan sesuatu dengan segala kesungguhan. Ijtihad dari sudut istilah berarti menggunakan seluruh potensi nalar secara maksimal dan optimal untuk meng-istinbath suatu hukum agama yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok ulama yang memenuhi persyaratan tertentu, pada waktu tertentu untuk merumuskan kepastian hukum mengenai suatu perkara yang tidak ada status hukumnya dalam Al-Qur’an dan sunnah dengan tetap berpedoman pada dua sumber utama.
Ijtihad adalah istilah para fuqaha, yaitu berpikir dengan menggunakan seluruh ilmu yang dimiliki oleh ilmuan syari’at Islam untuk menetapkan/menentukan sesuatu hukum syari’at Islam dalam hal-hal yang ternyata belum ditegaskan hukumnya oleh Al-Quran dan sunnah. karena itu ijtihad dipandang sebagai salah satu sumber hukum Islam yang sangat dibutuhkan sepanjang masa setelah Rasul Allah wafat. Sasaran ijtihad ialah segala sesuatu yang diperlukan dalam kehidupan,yang senantiasa berkembang. Ijtihad bidang pendidikan sejalan dengan perkembangan zaman yang semakin maju,terasa semakin urgen dan mendesak,tidak saja dibidang materi atau isi,melainkan juga dibidang system dalam artinya yang luas.[24]
Dengan demikian, ijtihad bukan berarti penalaran bebas dalam menggali hukum satu peristiwa yang dilakukan oleh mujtahid, melainkan tetap berdasar pada Al-Qur’an dan sunnah. Walaupun ijtihad diperbolehkan untuk dilakukan oleh mujtahid (orang yang berijtihad) yang memenuhi syarat, namun tidak berarti bahwa ijtihad dapat dilakukan dalam semua bidang. Ijtihad memiliki ruang lingkup tertentu.
Syaikh Muhammad Salut, misalnya membagi lingkup ijtihad ke dalam dua bagian:
a) Permasalahan yang tidak ada atau tidak jelas ketentuan hukumnya dalam Al-Qur’an atau hadist Nabi.
b) Ayat-ayat Al-Qur’an tertentu dan hadis tertentu tidak begitu jelas maksudnya yang mungkin disebabkan oleh makna yang dikandung lebih dari satu sehingga perlu ditentukan dengan jalan ijtihad untuk mengetahui makna-makna yang sesungguhnya yang dimaksud.[25]
2. Syarat-Syarat berijtihād
Seorang mujtahid yang hendak melakukan ijtihad haruslah memenuhi beberapa syarat, Abul A’la al-Mawdûdî mengemukakan enam macam syarat yang harus dipenuhi oleh mujtahid, yaitu:
a) Memiliki iman kuat terhadap syarî’ah ilâhiyyah, berkeyakinan teguh terhadap kebenaran dan kelurusannya, dan mempunyai tekad yang bersih untuk merealisasikannya, hatinya tidak cenderung mengutak- atik ketentuan syariat, dan tidak mengambil prinsip dan dasar dari sumber lain.
b) Menguasai Bahasa Arab lengkap dengan gramatika dan gaya bahasanya dengan baik. Sebab dengan bahasa Arablah al-Quran diturunkan, dan sarana yang paling penting untuk mengungkap sunah adalah Bahasa Arab.
c) Mendalami ilmu al-Quran dan as-Sunnah, sehingga tidak hanya tahu hukum yang bersifat furû’ saja melainkan memahami juga dengan baik kaidah-kaidah syarat yang bersifat universal dan tujuan-tujuan mendasar. Mujtahid harus mengetahui ketetapan syara’ yang berkaitan dengan kepentingan hidup manusia secara menyeluruh. Di samping itu, ia harus mengetahui kedudukan setiap segi dari aspek- aspek kehidupan dalam kerangka ketetapan universal ini, dan harus mengetahui tujuan ketetapan syara’ dan kemaslahatannya dalam mengatur berbagai segi dan aspek kehidupan yang berbeda-beda.
d) Mengetahui produk-produk ijtihad (hukum) yang diwariskan oleh para ahli terdahulu. Kebutuhan akan warisan lama bukan saja untuk latihan berijtihad, tetapi juga untuk melihat kesinambungan perkembangan hukum. Sebab adanya itjtihad bukan untuk memusnahkan yang lama dan memandangnya sebagai hal yang asing, sehingga harus diganti dengan yang baru.
e. Memiliki pengamatan yang cermat terhadap maslah-masalah kehidupan berikut situasi dan kondisi yang melingkupinya. Sebab masalah dan kondisi-kondisi itulah yang akan menjadi tempat aplikasi hukum-hukum tersebut.
f. Memiliki akhlak yang terpuji sesuai tuntunan Islam. Orang tidak akan mau menerima hasil ijtihad apabila dihasilkan oleh orang-orang yang tidak baik.[26]
3. Kedudukan Ijtihad
Ijtihād memiliki kedudukan sebagai sumber hukum Islam setelah al- Qur’ān dan Hadits. Ijtihād dilakukan jika suatu persoalan tidak ditemukan hukumnya dalam al-Qur’ān dan Hadits. Namun demikian, hukum yang dihasilkan dari ijtihād tidak boleh bertentangan dengan al-Qur’ān maupun Hadits.[27]
Rasulullah saw. juga mengatakan bahwa seseorang yang berijtihād sesuai dengan kemampuan dan ilmunya, kemudian ijtihādnya itu benar, maka ia mendapatkan dua pahala, Jika kemudian ijtihādnya itu salah maka ia mendapatkan satu pahala.[28]
4. Bentuk-Bentuk Ijtihad
Ijtihād sebagai sebuah metode atau cara dalam menghasilkan sebuah hukum terbagi ke dalam beberapa bagian, yaitu sebagai berikut.
a) Ijmak.
Ijmak berarti menghimpun, mengumpulkan, atau bersatu dalam pendapat, dengan kata lain ijmak merupakan consensus yang terjadi di kalangan para mujtahid terhadap suatu masalah sepeninggal Rasulullah SAW. Ahli ushul fikih mengemukakan bahwa ijmak adalah kesepatan para mujtahid kaum muslimin dalam suatu masa sepeninggal Rasulullah SAW terhadap suatu hukum syariat mengenai suatu peristiwa. Apabila terjadi suatu peristiwa yang memerlukan ketentuan hukum yang tidak ditemukan dalam kedua sumber sebelumnya (Al-Quran dan sunnah) maka para mujtahid mengemukakan pendapatnya tentang hukum suatu peristiwa dan jika disetujui atau disepakati oleh para mujtahid lain, kesepakatan itulah yang disebut ijmak.
Ijmak merupakan salah satu sumber hukum Islam yang memiliki posisi kuat dalm menetapkan hukum dari suatu peristiwa. Bahkan telah diakui luas sebagai sumber hukum yang menempati posisi ketiga dalam hukum Islam. Sejumlah ayat dan hadits nabi menjadi pembenaran teologis kekuatan ijmak sebagai sumber hukum dalam Islam. Pemberian warisan kepada nenek laki-laki (jadd) ketika ia berkumpul dengan laki-laki orang yang meninggal dunia yang dalam keadaan seperti ini nenek laki-laki tersebut menggantikan ayah (orang yang meninggal) untuk menerima seperenam dari harta warisan atau harta peninggalannya merupakan contoh penetapan hukum berdasarkan ijmak sahabat.
Dalam transaksi jual beli, misalnya istishna’ atau pemesanan barang yang baru akan dibuat yang seharusnya tidak boleh,karena dinilai sama seperti halnya membeli barang yang tidak ada, merupakan contoh hukum yang bersumber dari hasil ijmak sahabat (Hanafi, 1995: 61) Penggunaan ijmak sebagai sumber hukum dalam menetapkan hukum suatu peristiwa secara historis terjadi pasca wafatnya Nabi SAW. Selama beliau hidup, setiap peristiwa yang muncul selalu diminta untuk ditetapkan hukumnya sehingga tidak mungkin terjadi perlawanan hukum terhadap suatu masalah. Ijmak yang memiliki kehujahan sebagai sumber hukum didasarkan pada sejumlah argumentasi teologis terutama ayat 59 surah An-nisa’ yang didalamnya terdapat anjuran untuk taat pada ulil amri setelah taat pada Allah SWT dan Rosul-Nya. Ulil amri dalam ayat tersebut dipahami sebagai pemegang urusan dalam arti luas mencakup urusan dunia ( seperti kepala Negara, menteri, legislative, dan lain-lain) dan pemegang urusan agama seperti para mujtahid, mufti, dan ulama. Karena itu, apabila ulil amri telah sepakat dalam status hukum suatu urusan maka wajib ditaati, diikuti, dan dilaksanakan sebagaimana mentaati, mengikuti, dan melaksanakan perintah Allah SWT dan Rosul-Nya dalam (QS. An-nisa’ [4] : 83 ):
sArtinya: Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali sebahagian kecil saja (di antaramu). (QS. An-nisa’ 4: 83)
Argumentasi yang kedua yang dijadikan pembenaran kehujahan ijmak sebagai sumber hukum Islam adalah sejumlah hadis Nabi SAW yang menjelaskan terpeliharanya umat Islam dari bersepakat membuat kesalahan dan kesesatan separti hadis Nabi SAW yang diriwayatkan Ibnu Majah, yang mengatakan : “umatku tidak sepakat untuk membuat kekeliruan.” Hal ini berarti bahwa kesepakatan yang telah dicapai oeh para mujtahid memiliki kehujahan yang kuat sebagai sumber hukum dalam Islam dan wajib diikuti oleh umat Islam pada umumnya.
b) Qiyas
Secara harfiah berarti analogi atau mengumpamakan. Adapun menurut pengertian para ahli fikih, qiyas adalah menetapkan hukum tentang sesuatu yang belum ada nash atau dalilnya yang tegas, dengan sesuatu hukum yang sudah ada nash atau dalilnya yang didasarkan atas persamaan illat antara keduanya. Misalnya, menetapkan haramnya minuman bir yang tidak ada dalilnya dalam Al-Qur’an dengan khamar yang ada hukumnya di dalam Al-Quran. Menyamakan atau menganalogikan bir dengan khamar ini didasarkan pada adanya persamaan illat antara keduanya, yaitu memabukkan.
c) Al-mashlahat al-mursalah
Secara harfiah berarti sesuatu yang membawa kebaikan bagi orang banyak. Adapun menurut para ahli hukum Islam, Al-mashlahat al-mursalah adalah sesuatu yang didalamnya mengandung kebaikan bagi masyarakat, sehingga walaupun pada masa lalu hal tersebut tidak diberlakukan, namun dalam keadaan masyarakat yang sudah makin berkembang, keadaan tersebut dianggap perlu dilakukan. Misalnya, pembukuan Al-quran dalam bentuk mushaf seperti yang ada sekarang perlu dilakukan, mengingat jumlah para penghafal Al-Quran makin sedikit karena meninggal dunia, serta pertentangan dalam membaca Al-Quran sering terjadi.
d) ‘Urf
Secara harfiah berarti sesuatu yang berlaku atau yang sudah dibiasakan. Adapun menurut para ahli hukum Islam, ‘urf adalah sesuatu yang berlaku dimasyarakat atau tradisi yang mengandung nilai-nilai kebaikan bagi masyarakat. Contonya kebiasaan merayakan hari raya yang pada zaman sebelum Islam, namun dinilai mengandung kebaikan, maka tetap dilanjutkan.
e) Istihsan
Secara harfiah berarti memandang sesuatu sebagai yang baik. Menurut Islam, istihsan artinya segala sesuatu yang dipandang manusia pada umumnya sebagai hal yang baik, dan tidak bertentangan dengan al-Quran dan sunnah. Penggunaan istihsan ini antara lain didasarkan pada sabda Rasulullah SAW : Artrinya : “segala sesuatu yang dinilai oleh kaum muslimin sebagai sesuatu yang baik, maka yang demikian itu disisi Allah dipandang sebagai hal yang baik.”
f) Qaul al-shahabat
Secara harfiah berarti ucapan sahabat. Dalam pengertian umum, Qaul al-shahabat adalah pendapat, pandangan, pikiran, dan perbuatan para sahabat yang sejalan denganAl-Quran dan sunnah. Penggunaan Qaul al-shahabat sebagai dasar hukum, mengingat para sahabat selain sebagai orang yang dekat, bergaul dan ikut berjuang dengan Rasulullah SAW, juga memang memiliki pemikiran, gagasan, dan karya-karya yang layak untuk dijadikan bahan renungan dan pertimbangan dalam mengembangkan ajaran Islam pada masa selanjutnya.
g) Syar’un man qablana
Secara harfiah berarti agama sebelum kita. Dalam pengertian yang lazim, Syar’un man qablana adlah ajaran yang terdapat didalam agama yang diturunkan Tuhan sebelum Islam yang terdapat di dalam kitab Zabur, Taurat, Injil yang masih asli yang tidak bertentangan dan masih sesuai dengan kebutuhan zaman. Di dalam kitab Taurat yang ditinggalkan Nabi Musa misalnya terdapat ajaran mengesakan Tuhan, larangan menyekutukan-Nya, memuliakan kedua orang tua, memiliki kepedulian terhadap kerabat, orang miskin, ibnu sabil, bersikap boros, membunuh anak, berbuat zina, memakan harta anak yatim, mengurangi timbangan, menjadi saksi palsu, dan larangan bersikap sombong. Ajaran yang dibawa Nabi Musa ini terus dilanjutkan oleh Nabi Muhammad SAW, sebagaimana terdapat dalam QS. Bani Israil (17) ayat 23 sampai dengan ayat 37. Ajaran yang pernah berlaku pada zaman Nabi Musa itu, masih tetap diberlakukan dimasa sekarang, karena masih dianggap cocok dan dibutuhkan untuk zaman sekarang dan yang akan datang. [29]
BAB III PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari pembahasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa sumber ajaran Islam ada tiga macam, yaitu Al-qur’an, hadits dan ijtihad. Al-qur’an sebagai sumber hukum Islam yang pertama yaitu Al-qu’an berisi tentang semua kehidupan yang ada di alam, perintah, akidah dan kepercayaan, akhlak yang murni, mengenai syari’at dan hukum dan sebagai petunjuk umat Islam. Sedangkan Hadits itu sebagai sumber ajaran islam karena dalam Dalil Al-Qur’an mengajarkan kita untuk mempercayai dan menerima apa yang telah disampaikan oleh Rasul untuk dijadikan sebagai pedoman hidup. Selain itu dalam hadits juga terdapat pertanyataan bahwa berpedoman pada hadits itu wajib, bahkan juga terdapat dalam salah satu pesan Rasulullah berkenaan menjadikan hadist sebagai pedoman hidup setelah Al-qur’an sebagai sumber yang pertama. Ijtihad sebagai sumber ajaran karena melalui konsep ijtihad, setiap peristiwa baru akan didapatkan ketentuan hukumnya Dari pemaparan makalah kami tersebut kita tahu bahwa sumber ajaran Islam sangat penting sebagai pedoman hidup, untuk itu hendaknya apabila kita melenceng dari salah satu sumber ajaran tersebut, maka akan menjadikan hal yang fatal.
Ketetapan Allah SWT. tentang hukum melahirkan macam-macam jenis pada implementasi hukum Islam dalam kehidupan manusia, yakni wajib, sunnah, haram, makhruh dan mubah. Seluruh aspek kehidupan manusia yang termaktub dalam kajian hukum Islam pada Al-Qur’an diperjelas lagi oleh Hadits Rasulullah SAW. melalui perkataan dan perbuatan beliau. Sebagai tokoh dan panutan, Rasulullah SAW. menggambarkan ketaatan yang sempurna atas hukum Islam, untuk itu arah rujukan umat Islam dalam mengambil keputusan hukum juga merujuk pada Hadits. Patutlah bagi kita umat Islam untuk selalu taat sesuai dengan sumber hukum Islam.
Sebagai sumber ajaran Islam, terdapat berbagai fungsi hadits yang perlu dipahami. Hadits adalah sumber pokok ajaran Islam yang tentunya dapat memberikan penjelasan lebih lanjut ajaran Islam yang tercantum dalam al- Qur’an. Al-Qur’an dan hadits menjadi sebuah satu kesatuan untuk pedoman umat manusia khususnya umat muslim. Keduanya menjadi pedoman umat supaya tidak kehilangan arah dalam hidup dan mendapatkan hidayah dari Allah SWT. Hadits menjadi salah satu sumber hukum Islam setelah al-Qur’an, dimana jika terjadi suatu perkara atau hukum yang belum jelas di dalam al - Qur’an, maka hadits bisa menjadi sebuah sandaran berikutnya setelah al- Qur’an.
Adapun ijtihad merupakan proses penetapan hukum syariat dengan mencurahkan seluruh pikiran dan tenaga secara bersungguh-sungguh yang kemudian melahirkan Ijma’ juga menjadi sumber hukum dalam Islam yang menjadi pedoman umat muslim. Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa ijtihad merupakan penetapan salah satu sumber hukum Islam. Fungsi ijtihad sebagai sumber hukum Islam adalah untuk menetapkan suatu hukum dimana hal tersebut tidak dibahas dalam al-Qur’an dan hadits Nabi SAW.
Sehingga bisa dikatakan, ijtihad merupakan sumber hukum ketiga setelah al- Quran dan Hadits.
DAFTAR PUSTAKA
Rohidin. 2016. Pengantar Hukum Islam Dari Semenanjung Arabia Sampai Indonesia. Yogyakarta: Lintang Rasi Aksara Books.
‘Ali, Imam. Bin Muhammad Al-amidi. 1996, Al-Ihkam Fi Usul al-Ahkam, Cairo: Dar Al-Hadits
Khairiyah, Nelty. Dan Endi Suhendi Zen. 2016, Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti, Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Uhbiyati, Nur. 2013, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan Islam, Semarang: Pustaka Rizki Putra.
Supadi, Didik Ahmad. dan Sarjuni. 2011. Pengantar studi Islam. Semarang: Rajawali Pers.
Syahin, Abdussabur. 2013. Sejarah Al-Qur’an. Mesir: Nahdah.
Ridwan, Muannif. Dkk. 2021. “Sumber-sumber Hukum Islam dan Implementasinya” BORNEO: Journal of Islamic Studies. 1 (2): 28-41
Ash-shiddieqy, Al-Hasbi. 1974. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Jakarta: Penerbit Bulan Bintang.
Suparta, Munzier. 2002 Ilmu Hadits, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Musahadi HAM. 2000. Evolusi konsep sunnah, Semarang: CV. Aneka Ilmu, anggota IKAPI.
Rozak, Abd. 2018 “Al-Qur’an, Hadits, dan Ijtihad sebagai sumber Pendidikan Agama.” Fikrah: Journal of Islamic Education. 2(2) 87-101.
Daradjat, Zakiah. 2009. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Sinar Grafika Offset.
Mahfud, Rois. 2011. Sumber Ajaran Islam. Palangka Raya: Erlangga
Nata, Abuddin. 2011. Studi Islam komperehensif, Jakarta: Kencana.
[1] Rohidin. Pengantar Hukum Islam Dari Semenanjung Arabia Sampai Indonesia (Yogyakarta: Lintang Rasi Aksara Books, 2016) hal. 91
[2] Imam ‘Ali Bin Muhammad Al-amidi, Al-Ihkam Fi Usul al-Ahkam, (Cairo: Dar Al-Hadis, 1996) jilid 1, hal. 17
[3] Nelty Khairiyah dan Endi Suhendi Zen. Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti (Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2016) hal. 49
[4] Nur Uhbiyati, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan Islam, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2013, Hal. 25
[5] Rohidin. Op.cit hal. 93
[6] Nelty Khairiyah dan Endi Suhendi Zen. Op.cit. hal. 49-50
[7]Didik Ahmad Supadi dan Sarjuni, Pengantar studi Islam, Semarang: Rajawali Pers, 2011 hal.169
[8] Abdussabur Syahin, Sejarah Al-Qur’an, (Mesir,Nahdah) hal. 13
[9] Nelty Khairiyah dan Endi Suhendi Zen. Op.cit. hal. 49-50
[10] Ibid. hal. 51
[11] Loc.it
[12] Ibid., hal. 51
[13] Muannif Ridwan, M. Hasbi Umar, dan Abdul Ghafar. “Sumber-sumber Hukum Islam dan Implementasinya” BORNEO: Journal of Islamic Studies vol. 1 no. 2 hal. 36
[14] Rohidin. Op.cit. hal. 103
[15] Al-Hasbi Ash-shiddieqy,sejarah dan pengantar ilmu haditis, (Jakarta: Penerbit bulan bintang, 1974) hlm. 20-25
[16] Ibid. hal 104
[17] Munzier Suparta, Ilmu Hadits, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002, hlm 56
[18] Musahadi HAM, Evolusi konsep sunnah, Semarang: CV. Aneka Ilmu, anggota IKAPI, 2000, hlm 82
[19] Ibid. hal. 119
[20] Ibid , hal. 80
[21] Nelty Khairiyah dan Endi Suhendi Zen. Op.cit. hal. 53-54
[22] Ibid., hal. 54-55
[23] Abd. Rozak. “Al-Qur’an, Hadits, dan Ijtihad sebagai sumber Pendidikan Agama.” Fikrah: Journal of Islamic Education vol. 2 no. 2. 2018. hal. 97
[24] Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Sinar Grafika Offset 2009) hal. 21
[25] Rois Mahfud, Sumber Ajaran Islam, Palangka raya: Erlangga, 2011, halaman 117-118.
[26] Rohidin. Op.cit. hal. 115-116
[27] Nelty Khairiyah dan Endi Suhendi Zen. Op.cit. hal 56
[28] Ibid. hal 57
[29] Abuddin Nata, Studi Islam komperehensif, Jakarta: Kencana , 2011. Halaman 43-45