Makalah Pengantar Studi Islam-TIPOLOGI AJARAN ISLAM ( IMAN,ISLAM dan IHSAN )

 

TIPOLOGI AJARAN ISLAM ( IMAN,ISLAM dan IHSAN )

Mata Kuliah: Pengantar Studi Islam

Dosen Pengampu: Noor Efendy, SHI, MH.

 

 


 

 


Disusun Oleh

Kelompok  VI

Azmi Rahmatina       (2022110914)

Siti Hamnah               (2022110916)

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI)

 DARUL ULUM KANDANGAN

PRODI HUKUM KELUARGA

TAHUN 2022/2023

 

 

 

 

KATA PENGANTAR

       Puji syukur kita panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan Rahmat dan Hidayah-Nya kepada kita semua, sehingga pada akhirnya makalah “Tipologi Ajaran Islam " Iman, Islam, dan Ihsan” ini dapat disusun dan disajikan dengan waktu yang telah ditetapkan. Adapun maksud dan tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah Pengantar Studi Islam.

      Selain itu semoga pembuatan makalah ini juga dapat membantu rekan-rekan mahasiswa lain untuk dapat digunakan sebagai literatur tambahan. Tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen pengampu Noor Efendy, SHI, MH. dan kepada pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.

      Akhirnya jika dalam penyajian makalah ini terdapat kekurangan, kritik dan saran yang membangun dari pembaca sekalian itu sangat membantu untuk ke depannya. Harapan penulis semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

 

 

 

 

 

 

 

 

Kandangan, 10 September 2022

 

 

  Kelompok 6

 

 

                                   DAFTAR ISI

 

KATA PENGANTAR.. 2

DAFTAR ISI. 3

BAB I. 4

A.         LATAR BELAKANG.. 4

B.         RUMUSAN MASALAH.. 4

C.         TUJUAN PENULISAN.. 5

BAB II. 6

A.         PENGERTIAN TIPOLOGI AJARAN ISLAM... 6

B.         PENGERTIAN IMAN, ISLAM, DAN IHSAN.. 6

1.          Pengertian Iman. 6

2.          Pengertian Islam.. 9

3.          Pengertian Ihsan. 15

C.         HUBUNGAN DAN PERBEDAAN IMAN, ISLAM, DAN IHSAN.. 17

1.          Hubungan Iman, Islam, dan Ihsan. 17

2.          Perbedaan Iman, Islam, dan Ihsan. 17

BAB III. 18

A.         KESIMPULAN.. 18

B.         KRITIK DAN SARAN.. 18

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………19

 

 

 

 

 

 

                                       BAB I

PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG

      Di antara  kata dalam agama ialah iman, islam dan ihsan. Berdasarkan sebuah hadits yang terkenal, ketiga istilah itu memberi umat Islam ide tentang Rukun Iman yang enam, Rukun Islam yang lima dan ajaran tentang penghayatan terhadap Tuhan Yang Maha Hadir dalam hidup. Dalam penglihatan itu terkesan adanya semacam kompartementalisasi antara pengertian masing-masing istilah itu, seolah-olah setiap satu dari ketiga noktah itu dapat dipahami secara tersendiri, dapat bentuk sangkutan tertentu dengan yang lain.

     Makalah kami ini membahas tentang Iman, Islam dan Ihsan. Iman adalah sebuah pengakuan dalam hati, sikap percaya pada masing-masing rukun iman yang enam. Islam itu kita menyembah hanya kepada Allah swt tidak menyekutukan-Nya dan menunaikan hukum-hukum syariat yang dibawa oleh Rasullulah Saw. Sedangkan Ihsan itu berarti kita menyembah Allah seolah-olah kita melihat-Nya, jika kita tidak melihat-Nya Maha Suci Allah dan Maha Tinggi sesungguhnya Allah melihat kita.

B.     RUMUSAN MASALAH

Untuk membatasi pembahasan dan mempermudah dalam penyajian makalah ini, penulis menyusun rumusan masalah sebagai berikut :

1.       Apa Pengertian Tipologi Ajaran Islam ?

2.       Apa Pengertian Iman Islam dan Ihsan ?

3.       Apa Hubungan Iman Islam dan Ihsan ?

4.       Apa Perbedaan Iman Islam dan Ihsan ?

 

 

C.    TUJUAN PENULISAN

Penulisan makalah ini bertujuan untuk mengetahui :

1.       Pengertian Tipologi Ajaran Islam.

2.       Pengertian Iman,Islam dan Ihsan.

3.       Hubungan Iman,Islam dan Ihsan.

4.       Perbedaan Iman, Islam dan Ihsan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

                                    BAB II

PEMBAHASAN

TIPOLOGI AJARAN ISLAM (IMAN,ISLAM,dan IHSAN)

 

A.    PENGERTIAN TIPOLOGI AJARAN ISLAM

       Tipologi adalah suatu ilmu yang mempelajari tentang pengelompokkan berdasarkan tipe atau jenis secara spesifik, tipologi berasal dari dua suku kata yaitu tiupo yang berarti pengelompokkan dan logos yang berarti ilmu atau bidang ilmu. Sedangkan menurut Budi A. Sukanda, tipologi adalah sebuah pengklasifikasian sebuah type berdasarkan atas penelusuran terhadap asal-usul. Menurut Ian R Barbour mengusulkan empat tipologi untuk memetakan pendekatan yang dipakai dalam hubungan antara ilmu dan agama yakni tipologi konflik, tipologi independensi, tipologi dialog, dan tipologi integrasi. Keempat pendekatan tersebut adalah untuk memetakan bagaimana pendekatan tipologi integrasi ilmu agama yakni pembauran antara ilmu dan agama hingga menjadi kesatuan yang utuh atau bulat.[1]

 

B.     PENGERTIAN IMAN, ISLAM, DAN IHSAN

1.      Pengertian Iman

       Iman secara etimologis berasal dari bahasa Arab amana-yu’minu-imanan yang artinya “percaya”. Menurut istilah, iman adalah pembenaran dalam hati, diikrarkan dengan lisan, dan dibuktikan dengan amal perbuatan.

Maksud dari “membenarkan dengan hati” adalah sebagai muslim, sudah seharusnya jika kita menerima segala apa yang diperintah dan dilarang oleh

Allah Subhanahu wa ta’ala, dan juga menerima segala yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

       Sedangkan yang dimaksud dengan “mengikrarkan dengan lisan” adalah mengucapkan dua kalimat syahadat, laa ilaaha illallahu wa anna muhammadan rasulullah (‘tidak ada Tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah’).

       Terakhir, yang dimaksud dengan “mengamalkan dengan anggota badan” adalah bahwa setelah lisan menyatakan pembenaran tersebut, maka giliran hati mengamalkan dalam bentuk keyakinan. Sebagai contoh, orang yang sudah mengucapkan dua kalimat syahadat dan meyakini bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, maka haram baginya untuk pergi ke perdukunan atau melakukan kesyirikan, karena kesyirikan akan menggugurkan keimanan seseorang.[2]

       Rukun iman ada 6, yaitu :

a.       Iman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala

       Iman kepada Allah menjadi modal paling pokok dalam diri seorang muslim. Jika seseorang tidak beriman kepada Allah, maka akidahnya benar-benar rusak. Beriman kepada Allah tidak hanya diyakini di dalam hati saja, tetapi juga harus diucapkan dalam bentuk lisan dan dibuktikan dalam bentuk sikap maupun perbuatan. Mengikuti semua perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya.[3]

b.      Iman Kepada Malaikat

       Akar kata malaikat adalah alaka yang berarti menyampaikan. Dalam bahasa Latin, malaikat disebut dengan kata angel, berasal dari bahasa Yunani, angelos berarti kurir.

       Iman kepada malaikat bermakna bahwa kita mempercayai dan meyakini bahwa allah menciptakan para malaikat dari cahaya dan yakin

bahwa para malaikat tunduk dan patuh terhadap tugas-tugas yang diberikan Allah kepada mereka untuk mengurus alam semesta ini.

       Berbeda dengan manusia, malaikat tidak memiliki nafsu. Allah juga menganugerahkan kepada malaikat naluri untuk selalu taat kepada-Nya. Malaikat juga makhluk yang rajin bertasbih dan merupakan makhluk yang sangat taat dan patuh kepada Allah.[4]

c.       Iman kepada Kitab-Kitab-Nya

       Beriman kepada kitab-kitab Allah adalah bahwa kita percaya dan yakin bahwa Allah memiliki kitab-kitab yang pernah diturunkan kepada para Rasul-Nya untuk disampaikan kepada hamba-Nya.

1)      Kitab Taurat (Diwahyukan kepada Nabi Musa a.s)

2)      Kitab Zabur (Diwahyukan kepada Nabi Daud a.s)

3)      Kitab Injil (Diwahyukan kepada Nabi Isa a.s)

4)      Kitab Al-Qur’an ( Diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw.)

       Agama Islam sangat percaya bahwa al-Qur’an adalah salah satunya kitab Allah yang masih terjaga kebenaran dan kesuciannya sampai sekarang.[5]

d.      Iman Kepada Rasul

       Nabi adalah seseorang yang ditinggikan derajatnya oleh Allah dengan memberikan wahyu. Sedangkan Rasul adalah seseorang yang diutus Allah untuk menyampaikan isi ajaran (risalah). Sifat wajib bagi Nabi dan Rasul adalah Shidiq (jujur), amanah (dipercaya), tabligh (menyampaikan), fathanah (cerdas).

e.       Iman Kepada Hari Kiamat

       Kita harus percaya bahwa hari kiamat adalah peristiwa berakhirnya kehidupan dunia yang fana, berlanjut ke kehidupan yang kekal (akhirat). Semua makhluk dibangkitkan kembali untuk diadilkan perhitungan (hisab) di mana orang shaleh diberi balasan kenikmatan abadi di surga,

sedangkan orang yang durhaka (penuh dosa) diganjar dengan azab dan siksaan menghinakan di neraka.

f.        Iman Kepada Qadha dan Qadar

       Rukun iman ini sering disebut dengan takdir. Para ulama berbeda pendapat tentang perbedaan antara kedua istilah tersebut, sebagian mengatakan bahwa qadar adalah ketentuan Allah sejak zaman azali ( zaman yang taka ada awalnya), sedangkan qadha’ adalah ketetapan Allah terhadap sesuatu pada waktu terjadi. Jadi, ketika Allah menetapkan sesuatu akan terjadi pada waktunya disebut qadar. Kemudian ketika telah tiba waktu yang telah ditetapkan pada masa tersebut disebut qadha’ (Ilmi, 2012).[6]

       Jadi, segala apa yang terjadi pada makhluk, lebih-lebih ada hamba yang beriman yang mana semua itu adalah ketentuan dan kehendak Allah. Di mana apabila terjadi sesuatu yang sesuai dengan kehendak atau menyenangkan bagi hamba maka dinamakan nikmat, tetapi apabila terjadi sesuatu yang tidak diinginkan oleh hamba, maka itu bisa merupakan bala atau cobaan. Yang mana orang yang beriman apabila dibala atau dapat cobaan dari Allah ada hikmahnya.

 

2.      Pengertian Islam

       Asal makna Islam di dalam bahasa Arab artinya taat, tunduk, perdamaian, keamanan, juga bermakna bersih lahir dan batin. Adapun makna pada Syara’: Islam adalah mengesakan Allah Ta’ala dan tunduk akan segala perintah-Nya lagi merendah diri kepada-Nya dan ikhlas dalam beribadah. Islam adalah nama agama yang dibawa oleh Rasulullah saw. dari Allah SWT. Nama ini bukan ijtihad dari Rasulullah saw. tetapi adalah yang datang dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.

       Kalau kita perhatikan segala yang ada di langit atau di bumi bahkan pada alam semesta ini semuanya tunduk dan patuh kepada qanun atau undang-undang Sunnah. Tetapi yang dikehendaki Islam pada kita manusia bukan seperti tunduknya bulan, matahari dan yang seumpamanya itu, yaitu islam ijbary (tunduk yang dipaksa), maka yang dikehendaki pada kita adalah islam ikhtiary, yaitu tunduk taat dengan ikhtiar dan usaha yang berjalan di atas keridhaan Allah SWT.[7]

       Rukun Islam ada 5 perkara, yaitu:

1.      Mengucap Dua Kalimat Syahadat

       Islam tidak dapat berdiri tanpa rukun-rukunnya, Islam dan rukun-rukunnya yang empat tidak dapat berdiri tanpa dua syahadat bahkan tidak ada sama sekali. Dua syahadat bagi Islam secara keseluruhan seperti ruh bagi tubuh. Oleh karena itu, segala amal perbuatan orang kafir tidak memiliki nilai dihadapan Allah meskipun perbuatan mereka baik.[8] Dengan demikian, seorang Muslim jika mengerjakan suatu amalnya itu tidak ada ruh dua syahadat, amalnya tidak diterima. Ini sesuai sabda Rasulullah saw.,

        Sesungguhnya segala amal perbuatan itu tergantung niatnya, dan setiap orang diberikan balasan sesuai dengan niatnya itu. Maka siapa yang hijrahnya itu diniatkan untuk Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya berarti secara utuh untuk Allah dan Rasul-Nya. Sedangkan siapa yang hijrahnya itu untuk mendapatkan dunia atau perempuan yang ingin ia nikahi, maka hijrahnya itu adalah untuk apa yang ia tuju itu.” (H.R. Muttafaq ‘alaih)[9]

       Terdapat ikatan yang sempurna antara syahadat “tidak ada Tuhan selain Allah” dengan syahadat “bahwa Muhammad adalah utusan Allah”. Hal ini akan menjadi lebih jelas jika kita mengetahui makna kalimat “saya bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah”. Kita seakan-akan mengatakan tidak ada tempat mencari ketenangan, meminta pertolongan, tidak ada pemilik, ditaati, diagungkan, dijadikan tempat berpulang dan tidak ada yang menguasai kecuali Allah.[10]

 

 

2.      Menegakkan Shalat Lima Waktu

       Dengan dalil firman Allah Ta’ala dalam surah An-Nur ayat 56:

Artinya “Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan taatlah kepada Rasul, supaya kamu diberi rahmat.”

       Rangkaian jalinan ritual bacaan dan gerakan diawali dengan niat dan takbir hingga diakhiri dengan salam. Jika dipahami, dijalani dengan tata aturan yang tepat, akan membuahkan hasil yang luar biasa berupa meningkatnya kesadaran akan posisi manusia dan Tuhan, kesadaran akan tujuan dan makna hidup, kesadaran akan jati diri, kesadaran akan perilaku yang telah, sedang, dan akan dilalui, kesadaran akan keterbatasan waku, usia, kesempatan, sarana dan sebagainya. Juga munculnya berbagai motivasi karya, membangun, mencipta dan seterusnya. Jika demikian, nyatalah jika al-Qur’an mengisyaratkan pendirian shalat dengan mempertimbangkan segala macam hal demi kokohnya bangunan shalat, akan membuahkan terhindarnya manusia dari perbuatan keji dan mungkar.

       Shalat mengandung isyarat pelajaran pembentukan perilaku melalui hafalan, pemahaman dan praktik. Haryanto menyebutkan bahwa shalat secara psikologis mengandung banyak aspek meliputi aspek olahraga, relaksasi otot, relaksasi kesadaran indera, meditasi, sarana pembentukan kepribadian, dan terapi air.[11]

       Al-Ghazali menyatakan bahwa kualitas shalat ditentukan oleh kesadaran hati dimulai pada takbiratul ihram hingga salam. Keadaan batin yang kondusif terhadap penyempurnaan makna shalat, dapat dilakukan dengan enam cara yakni

1)      Kesadaran penuh dimana keadaan pikiran dan perasaan seseorang tidak berbeda dengan apa yang dikerjakan dan diucapkan

2)      Pemahaman adalah kesadaran yang mencakup juga pemahaman makna ucapan seseorang, sehingga pemahaman atas aspek-aspek shalat akan membentuk tameng bagi perbuatan tercela.

3)      Pengagungan adalah sesuatu yang jauh diatas kesadaran hati dan pemahaman.

4)      Kedahsyatan, perasaan yang tumbuh dari rasa takut, yang ditunjukkan kepada sesuatu yang Mulia.

5)      Pengharapan berkaitan dengan doa, dimana setiap doa orang mesti selalu berharap agar mendapat ganjaran-Nya sekaligus disertai rasa takut terhadap hukuman-Nya atas dosa-dosa.

6)      Rsasa malu adalah tambahan terhadap pengharapan, didasarkan atas kenyataan akan kekurangan seseorang sekaligus pengakuan akan dosa-dosa yang diperbuat.[12]

3.      Bayar Zakat

       Islam menghendaki manusia mencari karunia Allah berupa hadirnya rizqi yang halal dan berkah, bisa bermanfaat bagi diri, keluarga, masyarakat, dan lainnya. Orang dilatih untuk semangat mencari harta dengan kesadaran sebagai sarana pengabdiannya kepada Allah. Kesediaan Allah memilih dirinya untuk bisa membagi kepada yang memerlukan, menjadikannya bahagia, sehingga membawanya untuk bersyukur. Zakat, infaq, shadaqah melatih manusia memiliki “kecerdasan materi”.

       Mengenai hakikat zakat, Al-Ghazali menyebutkan ada tiga hal yakni:

1)      Sebagai ujian derajat kecintaan kepada Allah

2)      Pembersihan dari sifat bakhil

3)      Pengungkapan rasa syukur. Harta benda duniawi selalu menjadi objek kecintaan manusia.[13]

Hakikat zakat sebagaimana dicerminkan dalam al-Qur’an:

Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan medoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka; dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. QS. At-Taubah (9): 103.

4.      Puasa

       Kejatuhan manusia di dunia disebabkan terumbarnya nafsu, khususnya nafsu perut/makan dan nafsu biologis. Nafsu perut yang diumbar membawa nafsu keserakahan harta, juga membawa penyimpangan kebutuhan tubuh atas makanan yang dibutuhkan, juga membawa penyimpangan kebutuhan ruh atas tujuan dari makan, sehingga bisa membawa pada penyakit badan, jiwa dan ruh. Oleh karena itu, nafsu perlu dikendalikan sehingga menjadi lambang kasih saying Allah sebab nafsu memiliki kecenderungan mengajak keburukan, sebagaimana diisyaratkan dalam al-Qur’an : “Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. QS. Yusuf (12): 53.

       Dengan menyitir beberapa hadits, Az-Zahrani menyatakan bahwa puasa adalah salah satu latihan untuk mengendalikan nafsu syahwat. Disaat berpuasa seseorang berusaha untuk berperilaku baik, mendengarkan kata hati tanpa harus seorangpun mengawasinya, berlatih bersabar dalam memikul beratnya tanggung jawab dalam mencari nafkah dan dalam setiap permasalahan hidup. Puasa melahirkan kasih sayang kepada fakir miskin dan saling tolong menolong. Puasa juga memiliki manfaat kedokteran seperti melepaskan diri dari rasa bersalah dan berdosa serta perasaan depresi atau penyakit kejiwaan lainnya. [14]

       Menurut Al-Ghazali, tidak cukup hanya memenuhi syarat lahiriah sebagaimana dirumuskan sebagaimana dirumuskan dalam fikih, tetapi harus disertai dengan memenuhi syarat batin, yaitu:

1)      Tidak melihat apa yang dibenci Allah

2)      Menjaga ucapan, pendengaran dan sikap perilaku

3)      Menghindari makan berlebihan

4)      Menuju kepada Allah dengan rasa takut dan pengharapan.[15]

5.      Menunaikan Haji

       Ibadah haji dikatakan merupakan kesempurnaan Islam dan secara syari’i dikatakan wajib sekali seumur hidup. Ini mengandung makna bahwa jika latihan ini dilakukan secara benar, sekali saja, bekas pengalaman yang didapat akan mampu membimbing manusia seumur hidupnya. Sebab rukun ini melibatkan empat rukun secara serentak dilakukan bersama-sama dalam satu ritual ibadah haji.

       Proses dan suasana rukun ini digambarkan Allah dalam al-Qur’an sebagai berikut “(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi. Barangsiapa yang menetapkan niat dalam bulan itu untuk mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, bebrbuat fasik dan berbantah-bantah di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah; sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa, dan bertakwalah kepada-Ku wahai orang-orang yang berakal”. QS al-Baqarah(2); 197.

       Az-Zahrani menyatakan bahwa haji merupakan pusat pelatihan segalanya bagi muslim. Dengan haji, seseorang dikondisikan untuk selalu mengingat Allah, berdoa, melepaskan pakaian kebesarannya dengan kerendahan hati, menguatkan persaudaraan. Di dalam haji kaum muslimin dilatih mengendalikan syahwat  dan hawa nafsunya. Ketika ihram tidak diperkenankan menggauli wanita, bertengkar, mencela, berdebat, mengucapkan hal-hal yang membangkitkan syahwat, tidak melakukan hal-hal yang menimbulkan kefasikan, dan wajib meninggalkan dosa-dosa kecil apalagi dosa besar, hingga kaum muslimin bisa meluruskan perilakunya.[16]

3.      Pengertian Ihsan

       Asal makna ihsan dalam bahasa Arab memperbaiki perbuatan atau berbuat baik. Sedangkan makna ihsan dalam istilah syara’ ada dua macam :

1.      Makna khusus inilah yang dikehendaki dalam hadits Jibril as., sabda Rasulullah saw:

“Ihsan itu adalah bahwa engkau mengerjakan ibadah kepada Allah Taala seakan-akan engkau melihat Allah Taala. Maka jika engkau tidak mampu akan yang demikian itu, maka bahwasanya Allah Taala selalu melihat engkau, maksudnya bahwa beribadah kepada Allah swt. Selalu dengan keikhlasan yang sempurna karena merasa selalu melihat atau dilihat oleh Allah Ta’ala. Jadi jelas bahwa ihsan itu ada mempuyai dua tingkatan atau dua maqam (martabat).

a.       Maqam Musyaahadah, yaitu beribadah seperti melihat akan Allah Ta’ala. Sehingga kita beribadah benar-benar timbul rasa, yaitu:

·         Ubudiah ialah rasa kehambaan/penghambaan kita di hadapan Allah.

·         Khusyu’ ialah ingat kita bahwa kita berada di hadapan Allah dengan penuh rasa tunduk dan taat.

·         Khudu’ ialah merendahkan diri kepada Allah.

·         Tawadhu’ ialah rasa rendah diri kita di hadapan Allah.

·         Ikhlas ialah qasad/tujuan seseorang dalam amal ibadahnya semata-mata karena berbuat ibadah (mengabdi) kepada Allah dan menghendaki Ridha-Nya, tidak ada tujuan selain-Nya.

b.      Maqam Muraaqabah, yaitu dengan menghadirkan di dakam hatinya bahwa Allah selalu melihatnya dan mengetahui akan dia lahir dan batin sehingga selalu terpelihara keikhlasan dan kekhusyuannya dengan Allah.

2.      Makna ihsan yang umum yaitu dengan berbuat baik kepada Allah dan kepada semua makhluk Allah, lebih-lebih dengan manusia dan lebih-lebih lagi dengan sesama kaum muslimin, yang mana pada hakikatnya keuntungan yang sangat besar adalah kembali kepada orang yang berbuat baik itu sendiri. Jadi kesimpulannya, orang yang selalu berbuat baik dan bersifat pengasih penyayang dia akan mendapat rahmat yang banyak atau kebaikan kasih dari Allah maka menjadi habibullah atau kekasih Allah Ta’ala.

Menurut Imam Ghazali ada sepuluh perkara sifat yang terpuji,yaitu:

1.      Taubat, yaitu berhenti dari perbuatan maksiat atau kembali kepada yang diridhai Allah.

2.      Khauf, yaitu takut kepada Allah dari segala ancaman-Nya.

3.      Zuhud, yaitu berpaling hati daripada dunia dan perhiasannya, tetapi mengambil sekedar hajat.

4.      Sabar itu ada tiga macam yaitu sabar dalam ketaatan, sabar dalam meningalkan maksiat dan sabar dalam kedatangan musibah.

5.      Syukur, yaitu menggunakan segala nikmat dan pemberian Allah kepada barang yang diridhai-Nya.

6.      Ikhlas/Siddiq, yaitu bersih niat dalam beramal semata-mata karena Allah.

7.      Tawakal, yaitu berpegang hati kepada Allah, percaya dan yakin bahwa Allah itulah yang menjamin kehidupan segala makhluk.

8.      Mahabbah, yaitu mencintai Allah Ta’ala karena orang yang kenal dekat dengan Allah tentu mencintai dan mengasihi Allah Ta’ala.

9.      Ridha dengan qadha dan qadar Allah, yaitu menerima dengansenang hati apa-apa yang telah ditentukan oleh Allah kepada kita.

10.  Dzikrul maut, yaitu ingat dengan kematian.[17]

C.    HUBUNGAN DAN PERBEDAAN IMAN, ISLAM, DAN IHSAN

1.      Hubungan Iman, Islam, dan Ihsan

       Iman, Islam, dan Ihsan saling berhubungan karena seseorang yang hanya menganut Islam sebagai agama belumlah cukup tanpa dibarengi dengan iman. Sebaliknya, iman tidaklah berarti apa-apa jika tidak didasari dengan Islam. Selanjutnya, kebermaknaan Islam dan iman akan mencapai kesempurnaan jika dibarengi dengan ihsan, sebab ihsan mengandung konsep keikhlasan tanpa pamrih dalam beribadah. Iman lebih menekankan pada segi keyakinan di dalam hati. Islam adalah sikap aktif untuk berbuat/beramal. Ihsan merupakan perwujudan dari iman dan islam, yang sekaligus merupakan cerminan dari kadar iman dan islam itu sendiri.

2.      Perbedaan Iman, Islam, dan Ihsan

       Secara teori Iman, Islam, dan Ihsan. Iman menyangkut aspek keyakinan dalam yaitu kepercayaan atau keyakinan, sedangkan Islam artinya keselamatan, patuh, dan tunduk dan ihsan artinya selalu berbuat baik karena merasa diperhatikan oleh Allah.[18] Iman lebih menekankan pada segi keyakinan dalam hati. Islam merupakan sikap untuk berbuat dan beramal. Sedangkan Ihsan merupakan pernyataan dalam bentuk tindakan nyata.

 

                                    BAB III

PENUTUP

A.    KESIMPULAN

       Agama Islam adalah agama yang dibawa oleh nabi Muhammad saw dan dipelihara serta dipahamkan dengan rapi dan teliti oleh para sahabat beliau dan orang-orang yang hidup pada zaman itu, yang mengajarkan manusia berserah diri dan tunduk sepenuhnya kepada Allah untuk menuju keselamatan di dunia dan di akhirat. Iman percaya akan adanya Allah melalui adanya ciptaan-Nya yang nyata terlihat dan tidak hanya percaya tetapi meyakini dengan sepenuh hati akan adanya kebesaran Allah Tuhan semesta alam, yang mengatur seluruh alam semesta ini. Tegasnya ihsan adalah asas penting untuk kesempurnaan dalam mengerjakan sesuatu ibadah kepada Allah SWT yang memberi nikmat dan kelebihan. Namun sebenarnya, makna ihsan ini lebih luas. Perbuatan baik meliputi semua tingkah laku yang mengangkatkan taraf manusia serta mendidik jiwa seseorang dan menghampirkan dirinya kepada pencipta-Nya. Jika diantara ketiganya ada yang hilang, maka rumah tersebut tidak akan sempurna. Dalam kehidupan, jika diantara ketiga aspek tersebut ada yang hilang dalam diri seseorang, maka orang tersebut tidak akan merasakan dalam hatinya, muslim yang menjaga rukun islam akan selalu dekat dengan Tuhannya dan muslim yang selalu berihsan akan selalu baik dalam hubungan dengan lingkungannya.

B.     KRITIK DAN SARAN

       Mengingat terbatasnya pengetahuan dan pemahaman penulis dalam menelaah berbagai macam pembahasan tentang tipologi ajaran Islam (Iman, Islam dan Ihsan) sehingga makalah ini tidak sempurna. Kami mengharap para pembaca agar memberikan kritik dan saran yang positif agar lebih meningkatkan ketelitian dalam penyempurnaan makalah. Kami harap para pembaca memberi masukan yang bisa membangun semangat untuk kedua belah pihak. Dengan segala kesederhanaan makalah ini semoga bisa memberi manfaat dan ilmu yang bisa dipahami pembacanya.

DAFTAR PUSTAKA

 

 

Basar, A. M. (2021). Mengenal Rukun Iman dan Islam. Guepedia.

Hawwa, S. (2017). Al-Islam. Jakarta: Daarus Salaam.

Irsyad. (2013). Jurnal Bimbingan, Penyuluhan, Konseling dan Psikoterapi Islam.

K.H. Muhammad Dhiauddin, L. (2015). Cahaya Iman Islam dan Ihsan. Yogyakarta: Sahabat Mitra Pengetahuan.

Kardi, K. N. (2022). Tipologi Integrasi Ilmu Agama dalam Pemikiran Islam Kontemporer. Jurnal Ilmiah Ilmu Pendidikan, Vol. 5 No. 1.

Noegroho, I. R. (2019). Dasar-Dasar Memahami Iman, Islam dan Ihsan. Anak Hebat Indonesia.

Nurjannah. (2014, Juni). Lima Pilar Rukun Islam Sebagai Pembentuk Kepribadian Muslim. Jurnal Hisbah.

 

 



[1] Kardi,K ., Natsir, N.F., & Haryanti, E., Tipologi Integrasi Ilmu Agama dalam Pemikiran Islam Kontemporer, Jurnal Ilmiah Ilmu Pendidikan, Vol. 5 No. 1, 2022.

[2] Ipnu R. Noegroho, Dasar-Dasar Memahami Iman, Islam dan Ihsan, Anak Hebat Indonesia, 2019, hlm. 3

[3] Ipnu R. Noegroho, Dasar-Dasar Memahami Iman, Islam dan Ihsan, Anak Hebat Indonesia, 2019, hlm. 8

 

[4] Ipnu R. Noegroho, Dasar-Dasar Memahami Iman, Islam dan Ihsan, Anak Hebat Indonesia, 2019, hlm. 34-37

[5] A. Miftahul Basar, Mengenal Rukun Iman dan Islam, Guepedia, 2021, hlm. 23-25

[6] Irsyad, Jurnal Bimbingan, Penyuluhan, Konseling, dan Psikoterapi Islam, Vol. 3, No. 1, 2013, hlm. 257

[7] KH. Muhammad Dhiauddin, Lc, Cahaya Iman Islam dan Ihsan, Sahabat Mitra Pengetahuan, Yogyakarta, 2015, hlm. 5-6

[8] Said Hawwa, Al-Islam, Daarus Salaam, Jakarta, 2017, hlm. 5

[9] Said Hawwa, Al-Islam, Daarus Salaam, Jakarta, 2017, hlm. 6

[10] Said Hawwa, Al-Islam, Daarus Salaam, Jakarta, 2017, hlm. 9

[11] Sentot Haryanto, Vol. 11, No. 1, Juni 2014

[12] Imam al-Ghazali, Ibadah Perspektif Sufistik, terj. Roudlon (Surabaya: Risalah Gusti, 2001), hlm. 26-28.

[13] Ibid, hlm. 48-52.

[14] Musfir bin Said Az-Zahrani, Konseling Terapi, terj. Sari Narulita & Miftahul Jannah (Jakarta: Gema Insani, 2005), hlm. 490.

[15] Imam al-Ghazali, Ibadah…., hlm. 85.

[16] Musfir bin Said Az-Zahrani, Konseling..., hlm. 492.

[17]  KH. Muhammad Dhiauddin, Lc, Cahaya Iman Islam dan Ihsan, Sahabat Mitra Pengetahuan, Yogyakarta, 2015, hlm. 44-50

[18] AsmaranAS, Pengantar Study Tauhid, Jakarta : RajawaliPress, 1992, hlm. 84.

Postingan populer dari blog ini

MAKALAH ISU-ISU KONTEMPORER DALAM STUDI ISLAM

makalah pengantar studi islam kelompok 1 -pendekatan studi islam-

MAKALAH PENGANTAR STUDI ISLAM Karakter Studi Islam (Studi Al-Qur’an, Hadits, Hukum Islam, dan Sejarah Islam)