Makalah ISLAM SEBAGAI OBJEK KAJIAN BIDANG FIKIH DAN DAKWAH

 

ISLAM SEBAGAI OBJEK KAJIAN

BIDANG FIKIH DAN DAKWAH

 

 

 

Mata Kuliah: Pengantar Studi Islam

Dosen Pengampu: Noor Efendy, SHI, MH


 

 Disusun oleh:

 

Kelompok 11

 

Abdul Wahab Sya’rani

 

 

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI)

DARUL ULUM KANDANGAN

TAHUN 2022 M/1444


 

 

 

KATA PENGANTAR

 

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

Pujian serta rasa syukur kita panjatkan bersama atas kehadirat Allah. yang sudah melimpahkan banyak rahmat, anugerah, taufik serta hidayah-Nya, sehingga pada waktunya penulis bisa menyelesaikan makalah ini. Salawat dan salam mudah-mudahan tetap tercurahkan pada junjungan kita Nabi Saw.. serta keluarga beliau, sahabat serta pengikut beliau ila yaumil qiyamah, dengan diiringi usaha meneladani akhlak beliau yang agung dan mulia. Penulis mengucapkan terima kasih pula kepada Bapak Noor Efendy, SHI, MH selaku dosen pengampu pada mata kuliah Pengantar Studi Islam yang sudah memberikan tugas ini serta memberikan bimbingan sebelumnya.

Penulis menyadari penuh apabila di dalam makalah ini tentu masih terdapat kekurangan serta jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan adanya kritik beserta saran yang sifatnya membangun agar adanya perbaikan di masa yang akan datang. Akhirnya, mudah-mudahan makalah ini bisa memberikan manfaat bagi pembacanya. Aamiin.

 

                                                                                                

 

 

                                                                                                Rantau, 16 September 2022

 

 

Abdul Wahab Sya’rani


 

 

 

DAFTAR ISI

 

Halaman

Halaman Sampul

Kata Pengantar ........................................................................................................ ii

Daftar Isi ................................................................................................................ iii

 

BAB        I       PENDAHULUAN .......................................................................... 1

A.      Latar Belakang ......................................................................... 1

B.       Rumusan Masalah .................................................................... 1

C.       Tujuan ...................................................................................... 1

 

BAB       II      PEMBAHASAN ............................................................................. 2

A.      Islam Sebagai Objek Kajian Bidang Fikih...........................      2

1.    Pengertian Ilmu Fikih dan Ushul Fikih ..........................      2           

2.    Objek Ilmu Fikih dan Ushul Fikih .................................      4

3.    Perbedaan antara Ilmu Fikih dan Ushul Fikih ................      4

4.    Tujuan Akhir yang Hendak Dicapai oleh Ilmu Fikih dan Ushul Fikih           .........................................................................................   6

B.       Islam Sebagai Objek Kajian Bidang Dakwah .....................      7

1.    Pengertian Dakwah ........................................................      7

2.    Prinsip-prinsip Dakwah ..................................................      8

3.    Tujuan Dakwah ..............................................................      9

4.    Subjek dan Objek Dakwah .............................................    12

5.    Sifat Dai ....................................................................... ..    13

6.    Bentuk Pesan Dakwah ....................................................    14

 

BAB       V      PENUTUP ..................................................................................... 16

A.      Simpulan ................................................................................ 16

B.       Saran ...................................................................................... 16

 

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 17


 

 

BAB I

PENDAHULUAN

 

A.      Latar Belakang

Agama memberikan penjelasan bahwa manusia adalah mahluk yang memilki potensi untuk berahlak baik (takwa) atau buruk (fujur). Islam adalah agama wahyu berintikan tauhid yang diturunkan oleh Allah Swt. kepada Nabi Saw. sebagai utusan-Nya dan berlaku bagi seluruh manusia, yang ajarannya meliputi seluruh aspek kehidupan manusia. Islam sebagai objek kajian diberbagai bidang studi keagamaan. Penting untuk mempelajari hal-hal yang berkenaan dengannya, sebagaimana makalah ini difokuskan pada bidang fikih dan dakwah.

 

B.       Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam makalah ini meliputi:

1.      Apa pengertian ilmu fikih dan ushul fikih?

2.      Apa saja objek ilmu fikih dan ushul fikih?

3.      Apa perbedaan antara ilmu fikih dan ushul fikih?

4.      Apa tujuan akhir yang hendak dicapai oleh ilmu fikih dan ushul fikih?

5.      Apa pengertian dakwah?

6.      Apa saja prinsip-prinsip dakwah?     

7.      Apa saja tujuan dakwah?       

8.      Siapa saja subjek dan objek dakwah?                       

9.      Apa saja sifat dai?                  

10.  Apa saja bentuk pesan dakwah?        

           

C.      Tujuan

Untuk mendeskripsikan pengertian ilmu fikih dan ushul fikih, objek ilmu fikih dan ushul fikih, perbedaan antara ilmu fikih dan ushul fikih, tujuan akhir yang hendak dicapai oleh ilmu fikih dan ushul fikih, pengertian dakwah, prinsip-prinsip dakwah, tujuan dakwah, subjek dan objek dakwah, sifat dai dan bentuk pesan dakwah.

BAB II

PEMBAHASAN

 

Pembahasan pada makalah ini difokuskan pada dua bidang ilmu yang termasuk pada bagian pembidangan ilmu agama Islam yaitu bidang ilmu Fikih (hukum Islam) dan Dakwah.[1]

A.      Islam Sebagai Objek Kajian Bidang Fikih

Islam adalah agama wahyu berintikan tauhid atau keesaan Tuhan yang diturunkan oleh Allah Swt. kepada Nabi Muhammad Saw. sebagai utusan-Nya yang terakhir dan berlaku bagi seluruh manusia meliputi seluruh aspek kehidupan manusia.[2] Islam lahir karena kehendak Allah untuk manusia agar mereka mendapat jalan yang lurus menuju kebahagiaan hidup yang sejati.[3] Islam sebagai din diturunkan oleh Allah mempunyai tiga elemen yang saling melengkapi untuk mencapai kesempurnaan, yaitu keimanan dan keyakinan di dalam hati, pengikraran dengan lisan, serta pembuktian akan keyakinan dan ikrar dengan amal saleh (akidah, syariat dan akhlak-tasawuf).[4] Hukum Islam dahulu identik dengan syariat, kemudian baru akhir abad ke-8/awal ke-9, fikih muncul.[5] Aturan-aturan fikih berasal dari al-Qur’an dan Sunnah yang sejalan dengan sejumlah prinsip dan metode yang secara kolektif dikenal dengan sebutan ushul fikih.[6]

1.    Pengertian Ilmu Fikih dan Ushul Fikih

a.    Pengertian Ilmu Fikih

Ulama sependapat bahwa di dalam syariat Islam telah terdapat segala hukum yang mengatur semua tindakan manusia, baik perkataan maupun perbuatan. Hukum-hukum itu ada kalanya disebutkan secara jelas serta tegas dan ada kalanya pula hanya dikemukakan dalam bentuk dalil-dalil dan kaidah-kaidah secara umum. Untuk memahami hukum Islam dalam bentuk yang disebut pertama tidak diperlukan ijtihad, tetapi cukup diambil begitu saja dan diamalkan apa adanya, karena memang sudah jelas dan tegas disebut oleh Allah. Hukum Islam dalam bentuk ini disebut wahyu murni atau النصوص المقدسة. Adapun untuk mengetahui hukum Islam dalam bentuk kedua diperlukan upaya yang sungguh-sungguh oleh para mujtahid untuk menggali hukum yang terdapat di dalam nash melalui pengkajian dan pemahaman yang mendalam. Keseluruhan hukum yang ditetapkan melalui cara tersebut dinamakan fiqh.

Kata fikih dalam bahasa Arab (fiqh), secara bahasa atau etimologi berarti  pengertian, pengetahuan, kepandaian dan kecerdasan.[7] Asal katanya dari faqiha yang berarti memahami dan mengerti. Ilmu fikih dimaksudkan sebagai ilmu yang berbicara tentang hukum-hukum syar'i amali (praktis) yang penetapannya diupayakan melalui pemahaman yang mendalam terhadap dalil-dalilnya yang terperinci dalam nash (al-Qur’an dan Hadis). Lengkapnya definisi itu berbunyi:

الأحكام الشرعية العملية المكتسب من أدلتها التفصيلية

Hukum syar’i yang dimaksud dalam definisi di atas adalah segala perbuatan yang diberi hukumnya itu sendiri dan diambil dari syariat yang dibawa oleh Nabi Saw. Adapun kata amali dimaksudkan sebagai penjelasan bahwa yang menjadi lapangan pengkajian ilmu ini hanya yang berkaitan dengan perbuatan (amaliyah) mukallaf dan tidak termasuk keyakinan atau iktikad (‘aqidah) dari mukallaf itu. Adapun dalil-dalil terperinci (al-Tafshili) maksudnya adalah dalil-dalil yang terdapat dan terpapar dalam nash di mana satu persatunya menunjuk pada satu hukum tertentu.³

b.   Pengertian Ilmu Ushul Fikih

Pengertian ushul fikih dapat dilihat dari dua sisi. Pertama, sebagai rangkaian dari dua kata ushul dan fiqh. Kedua, sebagai satu bidang ilmu dari ilmu-ilmu syariat. Dilihat dari sudut tata bahasa (Arab), rangkaian kata ushul dan fiqh tersebut dinamakan tarkib idhafi, sehingga dua kata itu memberi pengertian ushul bagi fiqh. Ushul adalah bentuk jamak dari kata ashl yang berarti sesuatu yang dijadikan dasar bagi sesuatu yang lain. Berdasarkan pengertian ini, ushul fikih berarti sesuatu yang dijadikan dasar bagi fikih. [8] Makna lainnya berarti landasan tempat membangun sesuatu.[9]

Ulama mengungkapkan definisi ini dalam berbagai pengertian. Abdul Wahhab Khallaf mendefinisikannya dengan ilmu tentang kaidah dan pembahasan-pembahasan yang dijadikan sarana untuk memperoleh hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan dari dalil-dalilnya yang terperinci. Selanjutnya, Abu Zahrah menyatakan bahwa ilmu ushul fikih adalah ilmu yang menjelaskan kepada mujtahid tentang jalan-jalan yang harus ditempuh dalam mengambil hukum-hukum dari nash dan dari dalil-dalil lain yang disandarkan kepada nash itu sendiri. Oleh karenanya, ushul fikih juga dikatakan sebagai kumpulan kaidah atau metode yang menjelaskan kepada ahli hukum Islam tentang cara mengeluarkan hukum dari dalil-dalil syara’.  

2.    Perbedaan antara Ilmu Fikih dan Ushul Fikih

Berdasarkan uraian di atas terlihat perbedaan yang nyata antara ilmu fikih dan ilmu ushul fikih. Apabila ilmu fikih berbicara tentang hukum dari sesuatu perbuatan, maka ilmu ushul fikih bicara tentang metode dan proses bagaimana menemukan hukum itu sendiri. Atau, dilihat dari sudut aplikasinya, fikih akan menjawab pertanyaanapa hukum dari suatu perbuatan?” dan ushul fikih akan menjawab pertanyaan bagaimana cara atau proses menemukan hukum yang digunakan sebagai jawaban permasalahan yang dipertanyakan tersebut. Oleh karena itu, fikih lebih bercorak produk sedangkan ushul fikih lebih bermakna metodologis.[10]

3.    Objek Ilmu Fikih dan Ushul Fikih

a.    Objek Ilmu Fikih

Pada pokoknya, yang menjadi objek pembahasan ilmu fikih adalah perbuatan mukallaf dilihat dari sudut hukum syara’. Perbuatan tersebut dapat dikelompokkan dalam tiga kelompok besar, yaitu ibadah, muamalah dan ‘uqubah. Kemudian, bila diperhatikan secara cermat, objek pembahasan fikih dapat diperinci lagi kepada delapan bagian berikut.

1)   Kumpulan hukum yang digolongkan ke dalam ibadah, yaitu salat, puasa, zakat, haji, jihad dan nazar.

2)   Kumpulan hukum yang berkaitan dengan masalah keluarga, seperti perkawinan, talak, nafkah, wasiat dan pusaka. Hukum seperti ini sering disebut al-Ahwal al-Syakhshiyah.

3)   Kumpulan hukum mengenai mu’malah madiyah (kebendaan), seperti hukum-hukum jual-beli, sewa-menyewa, utang piutang, gadai, syuf’ah, hiwalah, mudharabah, memenuhi akad atau transaksi dan menunaikan amanah.

4)   Kumpulan hukum yang berkaitan dengan harta negara, yaitu kekayaan yang menjadi urusan baitul mal, penghasilannya, macam-macam harta yang ditempatkan di baitul mal dan tempat-tempat pembelanjaannya. Hukum ini termasuk ke dalam al-Siyasah.

5)   Kumpulan hukum yang dinamai ‘uqubat, yaitu hukum-hukum yang disyariatkan untuk memelihara jiwa, kehormatan dan akal manusia, seperti hukum qisas, had dan ta’zir.

6)   Kumpulan hukum yang termasuk ke dalam hukum acara, yaitu hukum-hukum mengenai peradilan, gugatan, pembuktian dan lain sebagainya.

7)   Kumpulan hukum yang tergolong kepada hukum tata negara, seperti syarat-syarat menjadi kepala negara, penguasa, hak-hak rakyat dan sistem permusyawaratan. Ini juga termasuk dalam lingkup al-Siyasah.

8)   Kumpulan hukum yang sekarang disebut sebagai Hukum Internasional. Termasuk ke dalamnya hukum perang, tawanan, perampasan perang, perdamaian, perjanjian tebusan, cara menggauli ahl-Zimmah dan lain sebagainya. Ini juga termasuk dalam lingkup al-Siyasah al-Duwaliyah.

Oleh karena itu, ulama fikih dalam membicarakan perbuatan-perbuatan orang mukallaf seperti di atas bertujuan untuk mengetahui apa hukum (syar’i)nya bagi masing-masing perbuatan tersebut.[11]

b.   Objek Ilmu Ushul Fikih              

Adapun yang menjadi objek pembahasan ilmu ushul fikih adalah dalil-dalil syara’ itu sendiri dari segi bagaimana penunjukannya kepada suatu hukum secara ijmali. Ulama sepakat bahwa al-Qur’an adalah dalil syara’ yang pertama. Gambaran al-Qur’an kepada hukum tidak hanya menggunakan satu bentuk kalimat tertentu, tetapi tampil dalam berbagai bentuk, seperti kalimat perintah (shighat amr), kalimat larangan (shighat nahy), kalimat yang bersifat umum dan sebagainya. Para ahli ushul membahas semua ini agar dapat mutlak, memperoleh ketentuan hukum yang ditunjuk oleh kalimat-kalimat tersebut. Hal ini dilakukan melalui penelitian yang sungguh-sungguh terhadap gaya dan rasa bahasa Arab, serta pemakaiannya dalam syariat.[12]

4.    Tujuan Akhir yang Hendak Dicapai oleh Ilmu Fikih dan Ushul Fikih

Abdul Wahab Khallaf mengatakan bahwa maksud akhir yang hendak dicapai dari ilmu fikih adalah penerapan hukum syariat kepada amal perbuatan manusia, baik tindakan maupun perkataannya. Dengan mempelajarinya orang akan tahu mana yang diperintah dan mana yang dilarang, mana yang sah dan mana yang batal, mana yang halal dan mana yang haram, dan lain sebagainya. Ilmu ini diharapkan muncul sebagai rujukan bagi para hakim pada setiap keputusannya, bagi para ahli hukum di setiap pendapat dan gagasannya serta juga bagi setiap mukallaf  pada umumnya dalam upaya mereka mengetahui hukum syariat dari berbagai masalah yang terjadi akibat tindakan mereka sendiri.

Begitu juga dengan ilmu ushul fikih. Khallaf berpendapat tujuan akhir yang hendak dicapai dengan ilmu ini adalah penerapan kaidah-kaidah dan pembahasan-pembahasannya kepada dalil-dalil tafshili untuk sampai kepada hukum syariat yang ditunjuk oleh dalil-dalil tersebut. Dengan pembahasan dan kaidah-kaidah ini dapat dipahami teks syariat dan daripadanya juga dapat diketahui hukum-hukum dan lain sebagainya. Ringkasnya, ilmu fikih bertujuan untuk memberi pelajaran, pengetahuan atau petunjuk tentang hukum, apa atau mana yang disuruh dan mana yang dilarang, mana yang boleh dan mana yang tidak boleh, serta menunjukkan cara melaksanakan suatu perintah dan lainnya, maka ilmu ushul fikih memberi pengetahuan kepada umat Islam tentang sistem hukum dan metode pengambilan hukum itu sendiri. Dengan ilmu ini (ushul fikih), diharap umat Islam terhindar dari taqlid, ikut pendapat orang lain tanpa mengetahui alasan-alasannya.[13]

 

B.       Islam Sebagai Objek Kajian Bidang Dakwah

1.    Pengertian Dakwah

Secara etimologis, kata dakwah berasal dari kata bahasa Arab دعوة-يدعودعا yang berarti menyeru, memanggil, mengajak, mengundang. Kata dakwah secara etimologis terkadang digunakan dalam arti mengajak kepada kebaikan yang pelakunya ialah Allah, para Nabi dan Rasul serta orang-orang yang telah beriman dan beramal shaleh. Terkadang pula diartikan mengajak kepada keburukan yang pelakunya adalah syaitan, orang-orang kafir, orang-orang munafik dan sebagainya. Kata dakwah yang mengajak kepada kebaikan antara lain disebutkan dalam QS. al-Baqarah (2): 221 berikut.

Dan Allah mengajak ke syurga dan ampunan dengan izin Nya dan Allah menerangkan ayat-ayat Nya (perintah-perintah Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.

 

Sedangkan kata dakwah yang berarti mengajak kepada kejahatan, antara lain disebutkan dalam firman Allah QS. Fatir (35): 6 berikut.

Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh bagimu, maka anggaplah ia musuh (mu), karena sesungguhnya syaitan-syaitan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala.

 

Dari ayat di atas, dapat dipahami bahwa dakwah secara etimologis mengandung dua pengertian yakni dakwah kepada kebaikan dan dakwah kepada kejahatan. Adapun pengertian dakwah secara terminologis sebagaimana dikemukakan oleh para ahli, antara lain:

a.    Menurut Syekh Ali Mahfudh, dakwah adalah mendorong manusia agar berbuat kebajikan dan petunjuk, menyuruh mereka berbuat makruf dan melarang mereka dari perbuatan mungkar, agar mereka mendapat kebahagiaan di dunia dan di akhirat.

b.    Menurut Bahay al-Khauliy, dakwah adalah memindahkan umat dari satu situasi ke situasi yang lain.

Berdasarkan definisi tersebut dipahami bahwa dakwah merupakan suatu usaha memindahkan umat dari situasi negatif kepada yang positif. Seperti dari situasi kekufuran kepada keimanan, dari kemelaratan kepada kemakmuran, dari perpecahan kepada persatuan, dari kemaksiatan kepada ketaatan untuk mencapai keridaan Allah, semuanya itu termasuk dalam pengertian dakwah.[14] Makna lainnya adalah seruan kepada seseorang atau sekelompok manusia untuk mengimani suatu perkara, disertai perintah untuk melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan atas perkara tersebut.[15]

2.    Prinsip-prinsip Dakwah

Kata Prinsip dalam KBBI berarti kebenaran yang menjadi pokok dasar pemikiran dan bertindak. Menurut Efeendy, prinsip-prinsip dakwah terbagi menjadi 7 yakni: a) dai harus siap menjadi pewaris nabi, b) dai harus menyadari bahwa masyarakat butuh waktu untuk memahami pesan dakwah, berdakwah secara bertahap, c) berdakwah sesuai dengan kondisi tingkat kemampuan masyarakat, d) dalam menghadapi persoalan dakwah dai harus bersabar,
e) seorang dai harus memiliki citra positif, f) berdakwah dengan mendahulukan yang prioritas, g) berdakwah itu harus dimulai dari diri sendiri, keluarga, kemudian masyarakat.[16]
Selain itu di dalam al-Quran terdapat beberapa prinsip dakwah, yaitu sebagai berikut.

a.    Qaulan Sadida (perkataan yang benar / tidak dusta), dalam QS. an-Nisaa (4): 9.

b.    Qaulan Baligha (ucapan yg lugas, efektif, tidak berbelit-belit), dalam QS. an-Nisaa (4): 63.

c.    Qaulan Ma’rufa (perkataan yang baik, santun dan tidak kasar), dalam QS. an-Nissa (4): 8.

d.    Qaulan Karima (kata-kata yang mulia dan penuh penghormatan), dalam QS. al-Isra (17): 23.

e.    Qaulan Layinan (ucapan yang lemah-lembut menyentuh hati), dalam QS. Thaha (20): 44.

f.     Qaulan Maysura (ucapan yang menyenangkan dan tidak menyinggung perasaan), dalam QS. Al-Isra (17): 28.[17]

3.    Tujuan Dakwah

Dalam proses pelaksanaan dakwah dalam arti mengajak manusia ke dalam Islam, diperlukan penetapan tujuan sebagai landasannya. Dalam bahasa Arab, tujuan disebut dengan istilah al-Qarad, al-Qaid, al-Bugyat, al-Hadf. Rasulullah Saw. ketika berdakwah di Makkah, perumusan dakwah beliau berbeda ketika di Madinah. Fase Makkah, materi pesannya adalah bertujuan mengajak untuk beriman kepada Allah. Pada waktu di Madinah, obyeknya adalah orang-orang beriman, tujuan pembinaannya agar mereka konsisten beramal saleh. Pada prinsipnya, tujuan dakwah hanya kepada Allah atau sabili rabbik, tetapi keadaan obyek dakwah seperti tersebut variatif (ada yang kafir, ahli kitab dan orang-orang beriman), sehingga masing-masing obyek perlu ditinjau menurut eksistensinya. Peninjauan yang berbeda bertujuan agar pesan bersifat kondisional dan situasional dan dapat menunjukkan solusi setiap permasalahan yang dialami oleh obyek. [18]

 

 

a.    Tujuan Dakwah kepada Orang Kafir

Orang kafir adalah orang yang mendustakan Allah dan Rasul-Nya sekaligus ajaran-ajaran Nya. Penolakan mereka menunjukkan bahwa profil yang tampak itu bukan pada prototipenya yang hakiki. Salah satu sifat yang dimiliki manusia adalah sifat ketergantungan. Dan lebih jauh dikatakan bahwa sifat ketergantungan manusia lebih jelas apabila ayat ini dilihat dari segi kedudukannya. Ayat pertama QS. al-Alaq (97): 2, selain perintah membaca yang ditujukan kepada Nabi Saw. juga memperkenalkan Tuhan Sang Pencipta. Ayat tersebut dapat disusun pernyataan tentang siapa yang dimaksud dengan rabbika dalam ayat pertama, yaitu khalaqal insana min ‘alaq. Makna kata rabbika tersebut berarti pemilik, pencipta dan yang memberikan kebaikan kepada sesuatu. Tuhan yang disebut rabb oleh karena Dia lah yang memberikan kebaikan kepada makhluk-Nya, juga berarti orang yang mengenal Tuhan. Sebab lain sehingga manusia memiliki sifat kekafiran adalah ketidaktahuan, ketidaksengajaan, yang ditandai dengan adanya faktor-faktor yang memungkinkan seseorang mengenal Tuhan. Sifat kesombongan dan keangkuhan dapat menyebabkan sifat egois, berpandangan sempit dan sukar menerima dan mengakui realitas di luar dirinya, sehingga sukar menerima dan mengakui kebenaran dan hidayah.  

Gambaran tersebut menunjukkan bahwa orang kafir pada hakikatnya adalah makhluk Tuhan yang juga membawa fitrah bertuhan kepada Allah sebagaimana dengan manusia lain. Penyampaian dakwah secara intensif bertujuan agar mereka beriman kepada Tuhan dan sadar akan kedudukan dan fungsi dirinya, sebagai hamba Allah. Dakwah memberikan informasi tentang eksistensi dirinya sebagai makhluk ciptaan Allah dan fungsinya, guna membawa mereka kepada kesejahteraan hidup di dunia dan keselamatan di akhirat. [19]

b.   Tujuan Dakwah kepada Ahli Kitab

Terhadap ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) al-Qur’an menunjukkan agar dai berusaha menanamkan keyakinan kepada mereka bahwa Nabi Saw. adalah rasul terakhir dan kitab suci Al-Qur’an adalah petunjuk bagi manusia secara universal.

Hal tersebut dapat dipahami dalam QS. al-Syura (42): 15 berikut.

Maka karena itu serulah (mereka kepada agama itu) dan tetaplah sebagaimana diperintahkan kepadamu dan janganlah mengikuti hawa nafsu mereka dan katakanlah: “Aku beriman kepada semua kitab yang diturunkan Allah dan aku diperintahkan supaya berlaku adil di antara kamu. Allah-lah Tuhan kami dan Tuhan kamu. Bagi kami amal-amal kami dan bagi kamu amal-amal kamu. Tidak ada pertengkaran antara kami dan kamu. Allah mengumpulkan antara kita dan kepada-Nya lah kembali (kita).”

 

Ayat tersebut merupakan perintah untuk menyampaikan dakwah kepada ahli kitab. Tujuannya agar mereka sadar dan mengakui kebenaran segala yang diturunkan Allah kepadanya. [20]

c.    Tujuan Dakwah kepada Orang Beriman

Orang mukmin adalah obyek dakwah selain orang kafir dan ahli kitab. Mukmin adalah orang yang beriman kepada Allah dan segala hal wajib diimani. Pelaksanaan dakwah kepada orang beriman bertujuan agar mereka intensif melaksanakan amal saleh sebagai bukti ketaatan kepada Allah. Efek amal saleh yang mereka lakukan adalah terbentuknya akhlak mulia dan di akhirat mendapat pahala mulia di sisi Allah. Sebagaimana dalam QS. al-Nahl (16): 97 berikut.

“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.”

 

Ayat ini menjelaskan tentang janji Allah kepada orang-orang yang beriman tanpa membedakan jenis kelamin, berupa hayatan tayyibah (kehidupan yang baik) dan pahala sebagai balasan amal saleh yang dilaksanakan. Abdul al-Karim Zaidan menjelaskan bahwa amal saleh adalah semua perbuatan yang diridhai Allah, yang memenuhi syarat: 1) Perbuatan itu hendaknya sesuai dengan ajaran Islam dan 2) Perbuatan itu bertujuan untuk mencapai keridhaan dan ketaatan kepada Allah. Suatu perbuatan tidak memenuhi kedua syarat atau hanya terpenuhi salah satu dari dua syarat di atas, tidaklah termasuk perbuatan yang diridhai Allah dan perbuatan itu tidak mendapat ganjaran. Abu al-A’la al-Maududi menjelaskan bahwa tujuan dakwah adalah mengajak manusia untuk mengakui dan meyakini bahwa tidak ada Tuhan selain Allah. Dia Yang Maha Esa, menguasai, ditaati, membuat peraturan-peraturan. Karena itu, manusia harus menyerahkan dirinya kepada Allah dan melaksanakan amal saleh. Sehubungan dengan hal ini, Allah. berfirman dalam QS. Al-Baqarah (2): 201 berikut.

Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka.”

 

Tujuan dakwah yang variatif tersebut menjadi indikasi dalam penetapan subyek dakwah yang dapat menunjang tercapainya tujuan utama dakwah.[21]

4.    Subjek dan Objek Dakwah

Subjek dakwah adalah seorang dai, mubalig, ulama dalam ilmu komunikasi dikenal dengan istilah komunikator. Seorang dai, mubalig, ulama memiliki kriteria yang menjadi ukuran kredibilitas agar dakwah efektif dan diterima oleh mad’u. M. Natsir menyebutkan pembawa dakwah (petugas dakwah) adalah orang yang memperigati, memanggil supaya memilih jalan membawa keuntungan. Dalam surat al-Ahzab ayat 45-46:

Hai Rasul sesungguhnya telah mengutus engkau untuk jadi saksi dan pembawa kabar gembira dan pemberi perungatan dan jadi penyeru kepada agama Allah dengan izinNya dan untuk jadi cahaya menerangi.[22]

 

Menurut Dr. Abdul Karim Zaidan ada 4 golongan manusia yang menjadi objek dakwah antara lain:

a.    Kaum bangsawan al-Mala” adalah orang-orang yang terkemuka dalam masyarakat, pemimpin dan yang akan mengayomi mereka. Sifat al-Mala pertama yaitu takabur, menolak kebenaran atau benar sendiri, sekalipun bathil. Sifat kedua adalah cinta kepada kekuasaan. Sikap al-Mala terhadap dakwah adalah selalu menolak dakwah karena senantiasa hatinya ditutupi oleh kecintaan terhadap harta.

b.    Kaum banyak/Public, Dr. Abdul Karim Zaidan mengemukakan bahwa jumhur adalah masyarakat yang menjadikan pengikut para pemimpin dan penguasa, yang lazim mereka itu terdiri dari orang miskin dan lemah yang memiliki beranekaragam pekerjaan dan kemampuan, menolak dakwah karena kurangnya harta.

c.    Orang munafik, Dr. Abdul Karim Zaidan mendefinisikan munafik dalam istilah syara’ adalah pernyataan yang ada tidak sesuai dengan apapun dalam hati, dasar kemunafikan itu adalah kekafiran.

d.    Orang maksiat, menurut Abdul Karim Zaidan ialah suatu golongan beriman yang telah mengucapkan dua kalimat syahadat, namun tidak menunaikan isi dan jiwa syahadat yang dituturkan itu, sehingga mengerjakan sebagian perintah agama dan menyalahi yang lain.[23]

5.    Sifat Dai

Menurut Syekh Ali Mahfudz ada beberapa sifat yang harus dimiliki oleh Dai antara lain:

b.    Sesungguhnya kewajiban yang pertama atas dai ialah berilmu dengan al-Quran.

c.    Mengamalkan ilmunya, tidak membohong perkataanya dan juga tidak menyalahi zahir dan batinnya.

d.    Penyantun dan berlapang dada, maka kesempurnaan suatu ilmu terletak pada sifat penyantun dan kelembutan ucapan merupakan alat pembuka hati, maka dari kesemuanya itu akan memberikan daya mampu untuk menghilangkan penyakit-penyakit jiwa dan hati.

e.    Keberanian, itu berarti seseorang tidak takut dalam menyatakan kebenaran dan tidak akan terambil (terangkat) pertolongan Allah karena celaan orang yang mencela.

f.     Bersih diri dan tidak silau terhadap apa yang ada di tangan orang lain.

g.    Berilmu dengan keadaan umat penerima dakwah, sehubungan dengan tugas mereka, adat istiadat, tabiat yang berlaku dalam negeri, akhlak atau segala apa yang berkembang pada kebiasaan masyarakat mereka.[24]

6.    Bentuk Pesan Dakwah

Pesan ialah apa yang dikomunikasikan oleh sumber kepada penerima dan pesan di sini merupakan seperangkat simbol verbal dan nonverbal yang mewakili perasaan, nilai, gagasan, maksud sumber. Di dalam menentukan materi dakwah ada beberapa hal yang menjadi perhatian diantaranya adalah pertama, memilih materi, kedua jangkauan ilmu, ketiga menyusun materi, keempat menguasai materi. Isi materi senantiasa terfokus pada 3 unsur pokok ajaran Islam, yaitu:

a.    Akidah

Ketika Rasulullah Saw. berdakwah di Makkah maka materi dakwah Rasulullah terkait persoalan akidah, karena masyarakat pada saat itu banyak yang menyembah berhala dan belum mengenal ajaran Islam. Rasulullah berdakwah secara sistimatis dan bertahap, serta melihat kondisi masyarakatnya. Akidah menurut bahasa adalah berasal dari kata aqd yang berarti pengikatan, ikatan yang kokoh, pegangan yang teguh, lekat, kuat dan dipercaya, atau apa-apa yang diyakini seseorang. Menurut bahasa akidah adalah keimanan atau apa-apa yang diyakini dengan mantap dan hukum yang tegas, yang tidak dicampuri keragu-raguan terhadap orang yang mengimaninya.

b.   Akhlak

Kata akhlaq merupakan bentuk jamak dari kata khuluq yang berarti tabiat, watak, perangai dan budi pekerti. Akhlak bisa didefinisikan sebagai sesuatu yang bersemayam di dalam jiwa, yang secara cepat dan mudah serta tidak dipikir-pikir dapat lahir dalam bentuk perilaku seseorang. Akhlak yang sesuai dengan al-Qur’an adalah akhlak terpuji (mahmudah). Sedang yang tidak sesuai disebut akhlak tercela (mazmumah). Dalam agama Islam akhlak mempunyai kedudukan yang tinggi sebagaimana dalam beberapa ayat dan hadis nabi berikut. 1) Akhlak merupakan tema pokok dalam ajaran agama Islam. Rasulullah bersabda “Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang terbaik akhlaknya dan sebaik-baik diantara kamu adalah yang paling baik terhadap istrinya (HR. Tirmizi). 2) Akhlak menjadikan seseorang memiliki kedudukan tinggi di akhirat. Rasulullah Saw. Bersabda “Tiada sesuatu yang lebih berat timbangannya seorang mukmin di hari kiamat, selain daripada keindahan akhlak, sesungguhnya Allah keji terhadap orang yang keji mulut dan kelakuannya (HR. Tirmizi). Dan 3) Akhlak selalu dikaitkan dengan ibadah mahdhah, seperti salat dapat mencegah dari kemungkaran.

c.    Ibadah

Kata ibadah dalam bahasa Arab adalah bentuk masdar (kata benda) dari kata kerja (fi’il) ‘abada, ya’budu yang berarti menyembah, memuja. Menurut Husain al-Habasiy, kata ibadah bermakna penyembahan kepada Allah. Dalam perkembangan selanjutnya, kata ini diartikan pula dengan penyembahan kepada selain Allah, misalnya patung, berhala dan semacamnya. Abd. al-Rahman al-Nahlawiy dalam kapasitasnya sebagai pakar ilmu tafsir menulis bahwa ibadah secara operasional adalah setiap tatanan berpikir yang mempunyai latihan dan cara berperilaku yang kadangkala disertai dengan suara, daya dan gerak fisik yang teratur.

Berdasarkan pengertian-pengertian yang telah dikemukakan, dapat dipahami bahwa ibadah adalah penyembahan dan pemujaan yang harus dilakukan oleh umat manusia dan diperhadapkan kepada Tuhan Pencipta mereka sesuai dengan tuntunan al-Qur’an dan Sunah Rasulullah Saw. Ketiga ajaran dasar ini, akidah, akhlak dan ibadah yang harus ditanamkan pada masyarakat. Cara penyampaian dan penanaman nilai-nilai agama ini lebih dikenal dengan istilah dakwah. Sementara dakwah itu sendiri terbagi kepada dua, yaitu da’wah bi al-Hal dan da’wah bi al-Lisan.[25]


 

BAB III

PENUTUP

 

A.      Simpulan

Ilmu fikih berkenaan dengan hukum dari sesuatu perbuatan, sedangkan ilmu ushul fikih tentang metode dan proses bagaimana menemukan hukum itu sendiri. Objek pembahasan ilmu fikih adalah perbuatan mukallaf dilihat dari sudut hukum syara’, sedangkan ushul fikih adalah dalil-dalil syara’ itu sendiri dari segi bagaimana penunjukannya kepada suatu hukum secara ijmali. Ilmu fikih bertujuan untuk memberi pelajaran, pengetahuan atau petunjuk tentang hukum, sedangkan ilmu ushul fikih memberi pengetahuan kepada umat Islam tentang sistem hukum dan metode pengambilan hukum. Dengan ushul fikih diharap umat Islam terhindar dari taqlid, ikut pendapat orang lain tanpa mengetahui alasan-alasannya.

Dakwah berarti menyeru. Prinsip dakwah diantaranya Qaulan Sadida, Qaulan Baligha, Qaulan Ma’rufa, Qaulan Karima, Qaulan Layinan dan Qaulan Maysura. Tujuan dakwah yaitu ada yang kafir, ahli kitab dan orang-orang beriman. Subjeknya yaitu seorang dai, mubalig dan ulama. Objek dakwah yaitu kaum bangsawan “al-mala”,  kaum banyak/public, orang munafik,  dan orang maksiat. Sifat dai yaitu berilmu dengan al-Quran, mengamalkan ilmunya, penyantun dan berlapang dada, memiliki keberanian, bersih diri dan berilmu dengan keadaan umat penerima dakwah. Bentuk pesan dakwah berupa akidah, akhlak dan ibadah.

 

B.       Saran

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini masih terdapat banyak kekurangan yang tidak dapat dihindari karena keterbatasan dalam banyak aspek. Oleh karena itu, penulis berharap adanya kritik dan saran yang sifatnya membangun demi perbaikan di masa yang akan datang. Semoga makalah yang sederhana ini dapat memberikan manfaat bagi yang membacanya.


 

DAFTAR PUSTAKA

 

Abdullah, Muhammad Qadaruddin. Pengantar Ilmu Dakwah. Surakarta: CV. Penerbit Qiara Media, 2019.

 

Badruzzaman, Abuy Sodikin. Metodologi Studi Islam. Bandung: Tunas Nusantara, 2000.

 

Baidhawy, Zakiyuddin. Islamic Studies: Pendekatan Dan Metode. Yogyakarta: PT Pustaka Insan Madani, 2011.

 

Hani, Umi. Buku Ajar: Pengantar Studi Islam. Banjarmasin: Universitas Islam Kalimantan Muhammad Arsyad Al-Banjary Banjarmasin, 2022.

 

Koto, Alaiddin. Ilmu Fiqh Dan Ushul Fiqh. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2016.

 

Rusyad, Daniel. Ilmu Dakwah: Suatu Pengantar. Bandung: el Abqarie Digital, 2021.

 

Supiana. Metodologi Studi Islam. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, Kementerian Agama RI, 2012.

 

Syafaq, Hammis, Amin Tohari, Nurul Asiya Nadhifah, Umi Hanifah, and Marli Candra. Pengantar Studi Islam. Surabaya: UIN Sunan Ampel Press, 2021.

 

Zein, Satria Effendi M. Ushul Fiqh. Jakarta: Prenada Media Group, 2019.

 

Zulkarnaini. “Fikih Dakwah.” Jurnal al-Munir 2, no. 3 (2010): 21.

 



[1] Supiana, Metodologi Studi Islam (Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, Kementerian Agama RI, 2012)., h. 45.

[2] Umi Hani, Buku Ajar: Pengantar Studi Islam (Banjarmasin: Universitas Islam Kalimantan Muhammad Arsyad Al-Banjary Banjarmasin, 2022)., h. 3.

[3] Abuy Sodikin Badruzzaman, Metodologi Studi Islam (Bandung: Tunas Nusantara, 2000)., h. 116.

[4] Hammis Syafaq et al., Pengantar Studi Islam (Surabaya: UIN Sunan Ampel Press, 2021)., h. 34.

[5] Ibid., h. 44.

[6] Zakiyuddin Baidhawy, Islamic Studies: Pendekatan Dan Metode (Yogyakarta:
PT Pustaka Insan Madani, 2011)., h. 155-156.

[7] Zulkarnaini, “Fikih Dakwah,” Jurnal al-Munir 2, no. 3 (2010): 21.

[8] Alaiddin Koto, Ilmu Fiqh Dan Ushul Fiqh (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2016).,
h. 1-3.

[9] Satria Effendi M. Zein, Ushul Fiqh (Jakarta: Prenada Media Group, 2019)., h. 1.

[10] Koto, Ilmu Fiqh Dan Ushul Fiqh., h. 3-5.

[11] Ibid., h. 5-6.

[12] Ibid., h. 7.

[13] Ibid., h. 9-10.

[14] Muhammad Qadaruddin Abdullah, Pengantar Ilmu Dakwah (Surakarta: CV. Penerbit Qiara Media, 2019)., h. 2-3.

[15] Daniel Rusyad, Ilmu Dakwah: Suatu Pengantar (Bandung: el Abqarie Digital, 2021).,
h. 1.

[16] Abdullah, Pengantar Ilmu Dakwah., h. 5.

[17] Ibid., h. 7-8.

[18] Ibid., h. 15.

[19] Ibid., h. 16-17.

[20] Ibid., h. 18-19.

[21] Ibid., h. 19-20.

[22] Ibid., h. 32.

[23] Ibid., h. 34-35.

[24] Ibid., h. 33.

[25] Ibid., h. 69-71.

Postingan populer dari blog ini

MAKALAH ISU-ISU KONTEMPORER DALAM STUDI ISLAM

makalah pengantar studi islam kelompok 1 -pendekatan studi islam-

MAKALAH PENGANTAR STUDI ISLAM Karakter Studi Islam (Studi Al-Qur’an, Hadits, Hukum Islam, dan Sejarah Islam)