Makalah ISLAM SEBAGAI OBJEK KAJIAN BIDANG PEMIIKIRAN ISLAM ASPEK TASAWUF
ISLAM SEBAGAI OBJEK KAJIAN BIDANG PEMIIKIRAN ISLAM ASPEK TASAWUF
Dosen Pengajar :
NOOR EFENDY,SHI,MH
Disusun Oleh:
Muhammad Dzikri Ramadhani
NIM:2022110919
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
DARUL ULUM KANDANGAN TAHUN 2022 M
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat ALLAH SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas penyusunan makalah Pengantar Studi Islam dengan judul “ Islam sebagai kajian bidang pemikiran islam aspek tasawuf”
Selanjutnya penulis mengucapkan terima kasih banyak kepada Bapak Noor Efendy,S.H.I, M.H selaku dosen pembimbing, karena telah memberi bimbingan kepada penulis, dan juga teman-teman yang telah membantu dalam proses pembuatan makalah ini.
Makalah ini terselesaikan berkat bantuan dari berbagai pihak, baik secara moril maupun materiil, oleh karenanya pada kesempatan ini dengan segala kerendahan hati, kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.
Saya menyadari bahwa masih banyak kekurangan dan belum seumpurnanya apa yang saya sampaikan, sehingga apabila ada kekurangan dalam penulisan serta isi/materi, saya mohon saran dan kritiknya secara langsung maupun tidak langsung, untuk kesempurnaan penulisan makalah ini.
Kandangan, 15 September 2022
Penulis
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN...................................................................................... 4
A. Latar Belakang…………………………………………………….....4
B. Rumusan Masalah…………………………………………………...5
C. Tujuan………………………………………………………………..5
BAB II PEMBAHASAN……………………………………………………………….6
A. Pengertian Tasawuf…………………………………………………..6
B. Ruang Limgkup Tasawuf dan Tujuannya…………………………………………………………….9
C. Sejarah Tasawuf dan Para Ahli………………………………………13
BAB III PENUTUP............................................................................................. 21
Simpulan…………………………………………………………………….21
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………....22
BAB I
PENDAHULUAN
1.Latar Belakang
Tasawuf merupakan salah satu bidang ilmu studi islam yang membahas tentang aspek rohani,esotorik,dan demensi mistical manusia, dalam perilaku kepada Tuhan.Dengan mengetahui ilmu tasawuf ini,manusia bisa mengetahui cara membersihkan diri,yaitu” tazkiatun nafsi “ untuk kemudian memperbaiki interaksi kepada tuhan, manusia, serta lingkungannya.Ilmu tasawuf juga memperhatikan aspek penyimpangan moral seperti manipulasi, korupsi, kolusi, penindasan,dan sebagainya.
Tasawuf adalah bagian dari ilmu islam bagian dari ilmu islam yang penting.
Dalam islam ada tiga bidang ilmu dasar yang harus di pahami umatnya. Ilmu ini adalah ilmu tauhid,fiqih,dan tasawuf.Tasawuf adalah perwujudan dari ihsan dalam syari’at islam.Tasawuf adalah ilmu yang berfokus pada membangun diri untuk menjauhi hal dunia.Sebagai umat islam,tasawuf adalah ilmu yang penting diketahui. Tasawuf adalah salah ilmu yang mengajarkan tentang upaya untuk tetap hidup sederhana,jauh dari hal-hal duniawi.
Begitu pentingnya peran tasawuf dalam kelangsungan hidup manusia secara keseluruhan, maka tidak heran jika tasawuf begitu akrab dengan kehidupan masyarakat Islam, setelah masyarakat mengembangkan iman dan ibadahnya, melalui ilmu pengetahuan. tauhid dan fiqih. Dengan cara ini, ada hubungan yang sangat harmonis antara tiga perangkat iman, Syariah, dan moral.
2. Rumusan Masalah
a. Apa pengertian tasawuf secara bahasa dan istilah
b. Apa Ruang Lingkup tasawuf
c. Bagaimana sejarah tasawuf dan siapa saja para ahli di bidang ilmu tasawuf,
3.Tujuan
a.Untuk Memapaparkan pengertian tasawuf secara bahasa dan istilah
b.Untuk Menjelaskan ruang lingkup tasawuf
c.Untuk Menjelaskan sejarah tasawuf dan siapa saja para ahli di bidang ilmu tersebuat
BAB II
PEMBAHASAN
A.Pengertian Tasawuf
Istilah tasawuf secara luguistik atau bahasa dari kata “tashowwafa yatashowwafu-tashowufan” mengandung makna (menjadi) berbulu yang banyak, yakni menjadi seorang sufi atau menyerupai pakaiannya yaitu bulu domba/wo(suf)l.Namun prakteknya tidak semua ahli sufi pakaiannya menggunakan wol.Ada juga yang mengatakan tasawuf itu berasal dari kata “safa kata ini berbentuk fi’il majhul sehingga menjadi isim mulhaq dengan huruf Ya’ nisbah,berarti orang-orang yang suci atau bersih.Maksudnya adalah oorang –orang yang mensucikan dirinya di hadapan Tuhannya.
- Pengertian tasawuf berdasarkan istilah
Pengertian tasawuf berdasarkan istilah, telah banyak dirumuskan oleh ahli, yang satu sama lain berbeda sesuai dengan selera masing-masing:
1.Menurut Asy-Syaikh Abu Al-Qosim Al Junaidi Al baghdadi;-tasawuf adalah kejernihan hubungan bersama Allah SWT. Yang pangkalnya adalah menjauhkan diri dari dunia[1]
- Tasawuf adalah ketika engkau bersama Allah, tanpa ada kaitan apa-apa .[2]
-Tasawuf adalah bahwa yang hak adalah yang mematikanmu, dan yang haklah yang menghidupkanmu.[3]
2.Menurut Al-Jurairi, Tasawuf adalah memasuki segala budi (akhlak) yang bersifatSunni dan keluar dari budi pekerti yang rendah.
3.Menurut Amir bin Utsman Al-Makki pernah mengatakan bahwa tasawuf adalah seorang hamba yang setiap waktunya mengambil waktu yang utama.
4..Menurut Muhammad Ali Al-Qassab, tasawuf adalah akhlak yang mulia yang timbul pada masa mulia dari seorang yang mulia di tengah-tengah kaum yang mulia[4]
5.Menurun Syamnun, tasawuf adalah bahwa engkau memiliki sesuatu yang tidak dimiliki sesuatu.
.6.Menurut Al-Karakhi, tasawuf adalah mengambil hakikat, dan berputus asa padaapa yang ada di tangan makhluk,
7.Abu Muhammad Al-Jariri ditanya tentang tasawuf, lalu ia menjawab, “Masuk ke dalam setiap etika yang luhur, dan keluar dari setiap etika yang rendah." Ia juga mengatakan, “Tasawuf adalah muraqabah terhadap kondisi-kondisi spiritual dan menetapi adab.
8.Abu Bakr Asy-Syibli mengatakan, “Tasawuf adalah duduk bersama Allah tanpa kepentingan.” Ia juga mengatakan, “Sufi adalah orang yang terputus dari makhluk dan bersambung dengan Yang Haq.” Hal tersebut sesuai dengan firman Allah, “Dan Aku telah memilihmu untuk diri-Ku” (Thaaha: 41), kemudian Allah berfirman, “Dan kau tidak akan melihat-Ku” Ia juga mengatakan, “Tasawuf adalah kilat yang membakar.” Ia juga mengatakan, “Sufi adalah anak-anak di ruang Yang Haq.” Juga, “Tasawuf adalah ‘ishmah (terpelihara) dari penglihatan spiritual terhadap alam semesta.” Ia juga mengatakan, “Tasawuf adalah syirik karena merupakan terpeliharanya hati dari melihat yang lain, padahal tidak ada yang lain." Dan, “Sufi tidak melihat di dua negeri bersama Allah selain Allah.
9.Abul Hasan Al-Kharqani mengatakan, “Sufi bukan menurut pakaiannya, sajadahnya, penampilannya, dan kebiasaannya, melainkan sufi adalah orang yang tidak punya wujud.” Ia juga mengatakan, “Sufi adalah siang yang tidak butuh matahari dan malam yang tidak butuh bulan dan bintang, dan ketiadaan yang tidak butuh wujud."
10. Ibnu ‘Arabi mengatakan, “Tasawuf adalah akhlak Ilahi."
Dari ungkapan-ungkapan diatas, lebih utama bila kita memperhatikan kesimpulan yang dibuat oleh Al-Junaedi sebagai berikut :
Tasawuf adalah membersihkan hati dari apa yang mengganggu perasaan kebanyakan makhluk, berjuang menanggalkan pengaruh budi yang asal (instrinsik)kita, memadamkan sifat-sifat kelemahan kita sebagai manusia, menjauhi segalaseruan dari hawa nafsu, mendekati sifat-sifat suci kerohanian, dan bergantung padailmu-ilmu hakikat, memakai barang yang penting dan terlebih kekal, menaburkannasihat kepada semua umat manusia, memegang teguh janji dengan Allah dalam halhakikat dan mengikuti contoh Rasulullah dalam hal syari’at.[5]
Definisi lain mengatakan, bahwa tasawuf adalah usaha mengisi hati dengan hanya ingat kepada Allah, yang merupakan landasan lahirnya ajaran Al-hubb atau cinta Illahi[6] .Tasawuf dipahami sebagai Al-Ma’rifatul Haqq, yakni ilmu tentang hakikat realitas intuitif yang terbuka bagi seorang sufi[7].
Jadi kalau kita simpulkan dari berbagai pengertian dapat kita ringkas sebaga iberikut, tasawuf adalah usaha membersihkan diri, berjuang memerangi hawa nafsu,mencari jalan kesucian dengan ma’rifat ,menuju keabadian, saling mengingatkan antara manusia, serta berpegang teguh pada janji Allah dan mengikuti syari’at Rasulullah dalam mendekatkan diri dan mencapai keridha’an-Nya.
B.Ruang Lingkup Tasawuf dan Tujuannya
Ilmu Tasawuf yang pada dasarnya bila dipelajari secara esensial mengandung empat unsur, yaitu :
1. Metafisika, yaitu hal-hal yang di luar alam dunia atau bisa juga dikatakan sebagai ilmu ghoib. Di dalam Ilmu Tasawuf banyak dibicarakan tentang masalah-masalah keimanan tentang unsur-unsur akhirat, dan cinta seorang sufi terhadap Tuhannya.[8]
2. Etika, yaitu ilmu yang menyelidiki tentang baik dan buruk dengan melihat pada amaliah manusia. Dalam Ilmu Tasawuf banyak sekali unsur-unsur etika, dan ajaran-ajaran akhlak (hablumminallah dan hablumminannas).
3. Psikologi, yaitu masalah yang berhubungan dengan jiwa. Psikologi dalam pandangan tasawuf sangat berbeda dengan psikologi modern. Psikologi modern ditujukan untuk menyelidiki manusia bagi orang lain, yakni jiwa orang lain yang diselidikinya. Sedangkan psikologi dalam tasawuf memfokuskan penyelidikan terhadap diri sendiri,[9] yakni diarahkan terhadap penyadaran diri sendiri dan menyadari kelemahan dan kekurangan dirinya untuk kemudian memperbaiki menuju kesempurnaan nilai pribadi yang mulya.
4. Estetika, yaitu ilmu keindahan yang menimbulkan seni. Untuk meresapkan seni dalam diri, haruslah ada keindahan dalam diri sendiri. Sedangkan puncak keindahan itu adalah cinta. Jalan yang ditempuh untuk mencapai keindahan menurut ajaran tasawuf adalah tafakur, merenung hikmah-hikmah ciptaan Allah. Dengan begitu akan tersentuh kebesaran Allah dengan banyak memuji dan berdzikir kehadirat-Nya. Oleh karena itu, dengan senantiasa bertafakur dan merenungkan segala ciptaan Allah, maka akan membuahkan pengenalan terhadap Allah (ma’rifat billah) yang merupakan keni’matan bagi ahli sufi. Hal ini bersumber pada mahabbah, rindu, ridlo melalui tafakkur, dan amal-amal shalih[10].
Menurut analisa Prof. Dr. H.M. Athoullah Ahmad, MA. bahwa obyek pembicaraan Ilmu Tasawuf itu meliputi tentang akal dan ma’rifat kemudian membahas mengenai hati dan riyadhah (latihan dalam spiritual). Adapun status Ilmu Tasawuf yaitu menuntun sesuai dengan petunjuk, dan membuang apa yang tidak sesuai dengan tuntunan yang berlaku. Kemudian sekuat tenaga menuju ke jalan Ilahi.[11]
a).Adapun tujuan mepelajari ilmu tasawuf
Esensi tasawuf bermuara pada hidup zuhud (tidak mementingkan kemewahan duniawi). Tujuan hal ini dalam rangka dapat berhubungan langsung dengan Tuhan; dengan perasaan benar-benar berada di hadirat Tuhan. Para sufi menganggap ibadah yang diselenggarakan dengan cara formal (mahdhoh) belum merasa cukup karena belum memenuhi kebutuhan spiritual kaum sufi[12].
Dalam pandangan Sayyid Nur bin Sayyid Ali bahwasanya sufisme diadakan dengan tujuan sebagai berikut:[13]
1. Berupaya menyelamatkan diri dari akidah-akidah syirik dan batil.
2. Melepaskan diri (takhalli) dari penyakit-penyakit kalbu.
3. Mengisi diri (tahalli) dengan akhlak Islam yang mulya.
4. Menggapai derajat ihsan dalam ibadah (tajalli).
5. Menstabilkan akidah persahabatan ketuhanan (shuhbah Ilahiyyah), dengan maksud Allah SWT melihat hamba-hamba-Nya dengan meliputi mereka dari segala arah ilmu, kekuasaan, pendengaran, dan penglihatan-Nya.
6. Menggapai kekuatan iman yang dahulu pernah dimiliki para sahabat Rasulullah SAW, menyebarkan ilmu-ilmu syari’at dan meniupkan roh kehidupan kepadanya.
7. Mampu mengembalikan kepemimpinan mendunia secara global kepangkuannya, baik peta politik maupun ekonomi, serta dapat menyelamatkan bangsa-bangsa yang ada dari alienasi dan kehancuran.[14]
Oleh karena itu, bagi ahli tasawuf tidak mempunyai tujuan lain dalam ber-taqarrub kepada Allah SWT kecuali dengan tujuan untuk mencapai ”ma’rifat billah” yakni mengenal Allah dengan sebenar-benarnya dan tersingkapnya dinding (hijab) yang membatasi diri dengan Allah SWT. Bagi para sufi dalam mendekatkan diri kepada Allah selalu dilandasi semangat beribadah dengan tujuan untuk mencapai kesempurnaan hidup dan ma’rifatullah. [15] Dengan ma’rifatulla>h akan melahirkan malu berbuat ma’siyat karena Allah, cinta kepada Allah karena mengharap ridla-Nya, dan rindu (sabilurroja’) kepada-Nya.[16]
b.)Dasar dasar ilmu tasawuf di dalam Al Qur’an
Berkaitan dengan masalah itu, Al-Qur’an menjadi sumber dan dasar dari tasawuf, serta amalannya, paling tidak tampak dari empat segi. Pertama, Al-Qur’an penuh dengan gambaran kehidupan tasawuf dan merangsang untuk hidup secara sufi. Kedua, Al-Qur’an merupakan sumber dari konsep-konsep yang berkembang dalam dunia tasawuf. Ketiga,AlQur’an banyak sekali berbicara dengan hati dan perasaan. Di sini Al-Qur’an banyak membentuk, mempengaruhi, atau mengubah manusia dengan bahasa hati, bahasa sufi, agar menjadi manusia yang berkepribadian sufi yang menyatu dalam dirinya secara harmonis perasaan dekat, takut, dan cinta pada Tuhan yang tergetar hatinya saat mendengar ayat-ayat AlQur’an. Dengan demikian, Al-Qur’an menjadi sumber yang sebenarnya dari metode tarekat. Keempat, Al-Qur’an sering menggambarkan Tuhan dengan gambaran yang hanya dapat didekati secara tepat melalui tasawuf. Bila gambaran itu didekati atau diterangkan dengan ilmu kalam atau filsafat akan tampak sebagai pemerkosa bahasa dan artinya menjadi dangkal.[17]
Salah satu konsep dalam tasawuf yang berasal dari Al-Qur’an adalah al-shabr (sabar). Kata al-shabr dengan kata-kata jadiannya seperti al-shabir, al-shabirin, ishbir, shabara, dan seterusnya banyak bertebaran dalam AlQur’an yang diungkapkan dalam berbagai kaitan. Tampaknya, esensi sabar dalam Al-Qur’an menunjukan sifat daya tahan atau kemampuan jiwa untuk memikul tekanan beban penderitaan, kesulitan, atau perjuangan dengan perasaan tegar dan kuat. Oleh karena itulah, konsep sabar menjadi bagian yang amat penting dan begitu akrab bagi kehidupan tasawuf. Sifat sabar dipuji Al-Qur’an sebagai sifat para Rasul ‘alaihimus salam.
Bahkan Al-Qur’an menyatakan adanya kebersamaan Allah dengan orang-orang bersabar.[18] Dan itulah sebabnya sabar adalah sejajar dengan kebenaran yang dua-duanya merupakan ajaran yang mesti saling dipesankan sesama orang beriman agar hidup tidak merugi.[19]
C.Sejarah Ilmu Tasawuf dan Para Ahli Dibidangnya.
Tasawuf merupakan sebuah konsep yang tumbuh sebelum Nabi Muhammad SAW lahir, baik dalam segi wacana, perilaku, maupun akidah. Tasawuf terjadi pada setiap umat dan agama-agama, khususnya Brahmana Hinduisme, filsafat Iluminasi Yunani, Majusi Persia, dan Nashrani Awal. Lalu pemikiran itu menyelinap ke dalam pemikiran Islam melalui zindik Majusi. Kemudian menemukan jalannya dalam realitas umat Islam dan berkembang hingga mencapai tujuan akhirnya[20] disusun kitab-kitab referensinya, dan telah diletakkan dasar-dasar dan kaidah-kaidahnya pada abad ke-empat dan kelima Hijriyah.[21]
Pada masa Rasulullah SAW Islam tidak mengenal aliran tasawuf, demikian juga pada masa sahabat dan tabi’in. Kemudian datang setelah masa tabi’in suatu kaum yang mengaku zuhud yang berpakaian shuf (pakaian dari buku domba), maka karena pakaian inilah mereka mendapat julukan sebagai nama bagi mereka yaitu sufi dengan nama tarekatnya tasawuf. Ilmu Tasawuf datang belakangan sebagaimana ilmu yang lain. Pada masa Rasulullah SAW Islam tidak mengenal aliran tasawuf, demikian juga pada masa sahabat dan tabi’in. Kemudian datang setelah masa tabi’in suatu kaum yang mengaku zuhud yang berpakaian shuf (pakaian dari buku domba), maka karena pakaian inilah mereka mendapat julukan sebagai nama bagi mereka yaitu sufi dengan nama tarekatnya tasawuf. Ilmu Tasawuf datang belakangan sebagaimana ilmu yang lain[22]
Dalam sejarahnya, bahwa dakwah Nabi di Makkah tidaklah semulus yang diharapkan. Kemudian Nabi melakukan tahannus di guwa Hiro sebelum turunnya wahyu pertama. Kegiatan ini dalam rangka menenangkan jiwa, menyucikan diri. Dalam proses ini Rasulullah melakukan riyadhah dengan bekal makanan secukupnya, pakaian sederhana yang jauh dari kemewahan dunia. Dengan demikian setelah menjalani proses-proses tersebut jiwa Rasulullah SAW telah mencapai tingkatan spiritual tertentu sehingga benar-benar siap menerima wahyu melalui Malaikat Jibril.[23] Dengan memperhatikan praktek-praktek Nabi SAW di atas menunjukkan Islam merupakan agama yang memiliki akar tradisi spiritual yang tinggi.
Pada prinsipnya perkembangan tasawuf itu ada tiga tahapan:
1. periode pembentukan dengan menonjolkan gerakan-gerakan zuhud sebagai fenomena sosial. Periode ini berlangsung selama abad pertama dan kedua hijriyah yang dipelopori oleh para sahabat, tabi’in, dan tabi’i tabi’in. Pada masa ini fenomena yang terjadi adalah semangat untuk beribadah dengan prinsip-prinsip yang telah diajarkan oleh Nabi SAW, untuk kemudian mereka mencoba menjalani hidup zuhud. Tokoh-tokoh sufi pada periode ini adalah Hasan Bashri (110 H.) dengan konsep khouf dan Rabi’ah Al-Adawiyah (185 H.) dengan konsep cinta (Al-Hubb).[24]
2. memasuki abad ketiga dan ke-empat hijriyah tasawuf kembali menjalani babak baru. Pada abad ini tema-tema yang diangkat para sufi lebih mendalam. Berawal dari perbincangan seputar akhlak dan budi pekerti, mereka mulai ramai membahas tentang hakikat Tuhan, esensi manusia serta hubungan antar keduanya. Dalam hal ini kemudian muncul tema-tema seperti ma’rifat, fana’, dzauk, dan lain sebagainya. Para tokoh pada masa ini diantaranya Imam Al-Qusyairi, Suhrawardi Al-Baghdadi, Al-Hallaj, dan Imam Ghazali.
3. abad ke-enam dan ketujuh tasawuf kembali menemukan suatu bentuk pengalaman baru. Persentuhan tasawuf dengan filsafat berhasil mencetak tasawuf menjadi lebih filosofis yang kemudian dikenal dengan istilah teosofi. Dari sinilah kemudian muncul dua varian tasawuf, Sunni dengan coraknya amali dan Falsafi dengan corak iluminatifnya. Adapun tokoh-tokoh teosofi abad ini adalah Surahwardi Al-Maqtul (549 H.), Ibnu ’Arabi (638 H.), dan Ibnu Faridh (632 H.)[25]
Kemudian membahas tentang para pakar di bidang tasawuf atau ulama sufi itu sangat banyak diantaranya yaitu:
1.Imam Hasan Al Bashri.
Salah satu tokoh penting dalam dunia
Islam adalah Imam Hasan al-Bashri. Ia adalah seorang ulama sufi yang
banyak dinukil petuah-petuah bijaksananya. Bila dirunut dari latar belakang
keluarganya, Hasan al-Bashri bukanlah anak seorang raja ataupun kalangan tokoh
terpandang melainkan hanya seorang anak dari hamba sahaya milik Zaid bin
Tsabit. Ayah Hasan al-Bashri bernama Yasar berasal dari daerah Maisan,
pinggiran kota Bashrah di negara Irak. Dahulu daerah Maisan ditaklukkan umat
islam pada tahun 12 Hijriah di bawah kepemimpinan panglima Khalid bin Walid.
Sedangkan, ibunya adalah hamba sahaya milik Ummu Salamah, istri Rasulullah saw.
Bila dirunut dari sejarah,
Hasan al-Bashri lahir di daerah Rabadzah, sebuah dataran berjarak 170 km dari
kota Madinah pada tahun 21 Hijriah. Kemudian, ia dibawa keluarganya ke kota
Madinah dan menetap di rumah Ummu Salamah, istri Rasulullah.
Sejak kecil, Hasan al-Bashri telah mendapatkan berkah doa dan kasih sayang dari
para kekasih Allah. Pernah suatu ketika di masa balita, ia ditinggal bekerja
oleh ibunya. Iba melihat Hasan al-Bashri kecil menangis maka Ummu Salamah,
istri Rasulullah saw pun menimangnya serta menyusuinya. Begitu juga, ketika ia
masih kecil Umar bin Khattab mendoakannya, “Ya Allah, ajarkanlah ilmu agama
kepada anak kecil ini dan buatlah umat mencintainya
Hasan Al Bashri berguru pada para sahabat Nabi, antara lain: Utsman bin Affan, Abdullah bin Abbas, Ali bin Abi Talib, Abu Musa Al-Asy'ari, Anas bin Malik, Jabir bin Abdullah and Abdullah bin Umar. Al-Hasan menjadi guru di Basrah, (Iraq) dan mendirikan madrasah di sana. Di antara para pengikutnya yang terkenal adalah Amr ibn Ubaid dan Wasil ibn Atha. Dia salah seorang fuqaha yang berani berkata benar dan menyeru kepada kebenaran di hadapan para pembesar negeri dan seorang yang sukar diperoleh tolak bandingnya dalam soal ibadah. Dia menerima hadits dari Abu Bakrah, Imran bin Husein, Jundub, Al Bajali, Muawiyah, Anas, Jabir dan meriwayatkan hadits dari beberapa sahabat diantaranya ‘Ubay bin Ka’ab, Saad bin Ubadah, Umar bin Khattab walaupun tidak bertemu dengan mereka atau tidak mendengar langsung dari mereka. Dan kemudian hadits-haditsnya diriwayatkan oleh Jarir bin Abi Hazim, Humail At Thawil, Yazid bin Abi Maryam, Abu Al Asyhab, Sammak bin Harb, Atha bin Abi Al Saib, Hisyam bin Hasan dan lain-lain.
Hasan al-Basri meninggal dunia di Basrah, Iraq, pada hari jum'at 5 Rajab 110 Hijrah (728 Masehi), pada umur 89 tahun.
2.Rabi’ah Al Adawiah
Rabiah Al-Adawiyah (Arab: رابعة العدوية القيسية) dikenal juga dengan nama Rabi'ah Basri adalah seorang sufi wanita yang dikenal karena kesucian dan dan kecintaannya terhadap Allah. Rabi'ah merupakan klien (bahasa Arab: Mawlat) dari klan Al-Atik suku Qays bin 'Adi, dimana ia terkenal dengan sebutan al-Qaysyah.
Rabiah diperkirakan lahir antara tahun 713 - 717 Masehi, atau 95 - 99 Hijriah, di kota Basrah, Irakdan meninggal sekitar tahun 801 Masehi / 185 Hijriah. Ia dilahirkan dari keluarga yang sangat miskin dan merupakan anak keempat dari empat bersaudara, sehingga ia dinamakan Rabiah yang berarti anak keempat. Ayahnya bernama Ismail, ketika malam menjelang kelahiran Rabi'ah, keadaan ekonomi keluarga Ismail sangatlah buruk sehingga ia tidak memiliki uang dan penerangan untuk menemani istrinya yang akan melahirkan[26].
Nama lengkapnya adalah Rabi'ah binti Ismail al-Adawiyah al-Basriyah. Rabiah
merupakan sufi wanita beraliran Sunni pada masa dinasti Umayyah yang menjadi
pemimpin dari murid-murid perempuan dan zahidah, yang mengabdikan dirinya untuk
penelitian hukum kesucian yang sangat takut dan taat kepada Tuhan. Rabi'ah Al-Adawiyah dijuluki sebagai
"The Mother of the Grand Master" atau Ibu Para Sufi Besar karena
kezuhudannya. Ia juga menjadi panutan para ahli sufi lain seperti Ibnu
al-Faridh dan Dhun Nun al-Misri. Kezuhudan Rabi'ah juga dikenal hingga ke
Eropa. Hal ini membuat banyak cendikiawan Eropa meneliti pemikiran Rabi'ah dan
menulis riwayat hidupnya, seperti Margareth Smith, Masignon, dan Nicholoson.[27].
Sekembalinya Rabi'ah dari Mekah untuk melaksanakan ibadah haji, kesehatan Rabi'ah mulai menurun. Ia tinggal bersama sahabatnya, Abdah binti Abi Shawwal, yang telah menemaninya dengan baik hingga akhir hidupnya. Rabi'ah tak pernah mau menyusahkan orang lain, sehingga ia meminta kepada Abdah untuk membungkus jenazahnya nanti dengan kain kafan yang telah ia sediakan sejak lama. Menjelang kematiannya, banyak orang-orang saleh ingin mendampinginya, namun Rabi'ah menolak. Rabiah diperkirakan meninggal dalam usia 83 tahun pada tahun 801 Masehi / 185 Hijriah dan dimakamkan di Bashrah, Irak.
4. Imam Al Ghazali.
Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ta’us Ath-Thusi as-Syafi’i al-Ghazali. Secara singkat dipanggil al-Ghazali atau Abu Hamid al-Ghazali.Dan mendapat gelar imam besar Abu Hamid al-Ghazali Hujatul Islam.[28]
Beliau lahir di Thus, Khurasan, Iran,[29]dekat Masyhad sekarang, pada tahun 450 H/1058 M. Beliau dan saudaranya, Ahmad, ditinggal yatim pada usia dini. Pendidikannya dimulai di Thus. Lalu, al-Ghazali pergi ke Jurjan.
Ghazali adalah ahli pikir ulung Islam yang menyandang gelar “Pembela Islam” (Hujjatul Islam), “Hiasan Agama” (Zainuddin), “Samudra yang Menghanyutkan” (Bahrun Mughriq), dan lain-lain.[30]]Riwayat hidup dan pendapat-pendapat beliau telah banyak diungkap dan dikaji oleh para pengarang baik dalam bahasa Arab, bahasa Inggris maupun bahasa dunia lainnya, termasuk bahasa Indonesia. Hal itu sudah selayaknya bagi para pemikir generasi sesudahnya dapat mengkaji hasil pemikiran orang-orang terdahulu sehingga dapat ditemukan dan dikembangkan pemikiran-pemikiran baru.
Al-Ghazali telah mengarang sejumlah besar kitab pada waktu mengajar di Baghdad, seperti Al-Basith, Al-Wasith, Al-Wajiz dan Al-Khalasah Fi Ilmil Fiqh. Seperti juga kitab-kitab Al-Munqil Fi Ilmil Jadl, Ma’khudz Al- Khilaf, Lubab Al-Nadhar, Tahsin Al-Maakhidz dan Mabadi’ Wal Ghāyat Fi Fannil Khilaf. Sekalipun mengarang beliau tidak lupa berpikir dan meneliti hal-hal dibalik hakikat. Beliau tidak ragu-ragu mengikuti ulama yang benar, yang tidak seorangpun berpikir mengenai kekokohan kesahannya atau untuk meneliti sumber pengambilannya. Pada waktu itu beliau juga mempelajari ilmu-ilmu yang lain.[31]Hanya 4 tahun al-Ghazali menjadi rektor di Universitas Nizhamiyah. Setelah itu beliau mulai mengalami krisis rohani, krisis keraguan yang meliputi akidah dan semua jenis ma’rifat. Secara diam-diam beliau meninggalkan Baghdad menuju Syam, agar tidak ada yang menghalangi kepergiannya baik dari penguasa (khalifah) maupun sahabat dosen seuniversitasnya. Al-Ghazali berdalih akan pergi ke Makkah untuk melaksanakan ibadah haji. Dengan demikian, amanlah dari tuduhan bahwakepergiannya untuk mencari pangkat yang lebih tinggi di Syam. Pekerjaanmengajar ditinggalkan dan mulailah beliau hidup jauh dari lingkunganmanusia, zuhud yang beliau tempuh.[32] Pada tahun 488 H, beliau mengisolasi diri di Makkah lalu keDamaskus untuk beribadah dan menjalani kehidupan sufi.Beliau menghabiskan waktunya untuk khalwat, ibadah dan i’tikaf di sebuah masjid diDamaskus. Berzikir sepanjang hari di menara. Untuk melanjutkan taqarubnyakepada Allah SWT beliau pindah ke Baitul Maqdis. Dari sinilah beliautergerak hatinya untuk memenuhi panggilan Allah SWT untuk menjalankanibadah haji. Dengan segera beliau pergi ke Makkah, Madinah dan setelahziarah ke makam Rasulullah SAW dan nabi Ibrahim A.S., ditinggalkanlahkedua kota tersebut dan menuju ke Hijaz.[33]
Dari Bait Al-Haram, al-Ghazali menuju ke Damsyik. Al-Maqrizi,dalam Al-Muqaffa, mengatakan :Ketika di Damsyik, al-Ghazali beri’tikad di sudut menara masjid Al-Umawi dengan memakai baju jelek. Di sini beliau mengurangi makan,minum, pergaulan dan mulai menyusun kitab Ihya’ Ulumuddin. Al-Ghazaliputar-putar untuk berziarah ke makam-makam para syuhada’ dan masjidmasjid.Beliau mengolah diri untuk selalu bermujahadah danmenundukkannya untuk selalu beribadah hingga kesukaran-kesukaran yangdihadapinya menjadi persoalan biasa dan mudah.[34]
Setelah mengabdikan diri untuk ilmu pengetahuan berpuluh-puluh tahun dan setelah memperoleh kebenaran yang hakiki pada akhir hidupnya,beliau meninggalkan dunia di Thus pada 14 Jumadil Akhir 505 H/19Desember 1111 M, dihadapan adiknya, Abu Ahmadi Mujidduddin. Beliaumeninggalkan tiga orang anak perempuan sedang anak laki-lakinya yangbernama Hamid telah meninggal dunia semenjak kecil sebelum wafatnya (al-Ghazali), karena itulah beliau diberi gelar “Abu Hamid” .[35]
BAB III
PENUTUP
Simpulan
Pengertian tasawuf secara lughawi adalah Ahlu Suffah yang berarti sekelompok orang imasa Rasulullah yang hidupnya hanya berdiam diserambi-serambi masjid, danmereka mengabdikan hidupnya untuk beribadah kepada Allah. Sedangkan pengertian tasawuf berdasarkan istilah adalah ilmu yang mempelajari usaha membersihkan diri,berjuang memerangi hawa nafsu, mencari jalan kesucian dengan ma’rifat menuju keabadian, saling mengingatkan antara manusia, serta berpegang teguh pada janji Allah dan mengikuti syari’at Rasulullah dalam mendekatkan diri dan mencapai keridaan-Nya.
Fungsi tasawuf dalam kehidupan manusia adalah menjadikan manusia beradasedekat mungkin dengan Allah dan menjauhkan diri dari kehidupan duniawi.
Perkembangan tasawuf mengalami kejayaan yaitu pada abad ke-3 hijriah denganmunculnya tokoh monumental Al-Ghazali, tetapi ketika memasuki abad ke-8 tasawufmengalami kemunduran karena tidak ada lagi konsep-konsep tasawuf yang baru.
DAFTAR PUSTAKA
-Djamaluddin Ahmad, Moch. 2013. Dua figur tokoh agung, Jombang : Pustaka Al-Muhibbin.
-Anwar,Rosihan dan Mukhtar Slihin, 2004. Ilmu Tasawuf. Bandung : “Pustaka Setia.
-Al qur’an.
-Nasution, Harun. 1978. Falsafah dan Mistisisme dalam Islam Jakarta : Bulan Bintang.
-Zainuddin, dkk., Seluk Beluk Pendidikan Dari al-Ghazali, (Jakarta : Bumi Aksara, 1991) -Matnu Bidayat Al-Hidayat fi At- Tawassuth Bainal Fiqh wa Tasawuf lil Imam Hujjatul Islam Abi Hamid al-Ghazali, (Surabaya : Diyantara, T. Th.)m Ghazali Hujjatul Islam(T.T : Pustaka Mantiq, T.Th.),
-Nawawi, Syaikh Muhammad, tt., Nasho’ihul ‘Ibad. Syirkah al-Nur Asiya, ttp.
-Danial Ahmad,Tasawuf dan Revolusi Spiritual.
. DR. Tafsir Ahmad , Tasawuf Jalan Menuju Tuhan, (Tasikmalaya: Latifah Press, 1995), cet. I., h. 60
[1] Mohc. Djamaludin Ahmad,Dua figure Tokoh Agung,Pustaka Al-Muhibbin,Hal:86.
[3] Rosihan Anwar,Ilmu Tasawuf , Pustaka Setia, Bandung, 2004, Hal : 12
4. Rosihan Anwar,Ilmu Tasawuf , Pustaka Setia, Bandung, 2004, Hal:13
[5] Ahmad, Op. At.Him.96-98
[6] Ibrahim Basuni, nas-ah Al Tasawuf Al Islam, Per Al-Ma’arif, Kairo, 1969 ; 17-27
[7] A Rivary Siregar, Tasawuf dari Sufisme Klasik Ke ne-Sufisme, PT. Raja Grafinda Persada, 2002, Hlm 35
[8] QS. 18:110.
[9] QS. 51:21.
[10] Moh. Saifullah al-Aziz, Op.Cit., h. 39.
[11] M. Athoullah Ahmad, Antara Ilmu Akhlak dan Tasawuf, (Serang: Sengpho, 2007), cet. I, h. 119.
[12] A. Mustofa, Akhlak Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), cet. V, h. 206
[13] Sayyid Nur bin Sayyid Ali, Al-Tasawwuf Syar’iy, (Beirut: Dar Kutub alIlmiyyah, 2000), h. 17.
[14] . Lihat Ismail Nawawi, Risalah Pembersih Jiwa, (Surabaya: Karya Agung, 2008), cet. I, h. 36-37
[15] Moh. Saifulloh al-Aziz S., Op.Cit., h. 39-40.
[16] Syaikh Muhammad Nawawi, Nasho’ihul ‘Ibad, (ttp.: Syirkah al-Nur Asiya, tt.) h. 57.
[17] Penulis DR. A. Hidayat, edit. DR. Ahmad Tafsir, Tasawuf Jalan Menuju Tuhan, (Tasikmalaya: Latifah Press, 1995), cet. I., h. 60
[18] . QS. 2:153
[20] Menurut penelitian Imam Qusyairi kata sufi menjadi terkenal tak lama sebelum akhir abad kedua Hijrah (822 M). Mir. Valiudin, Op.Cit., h. 2
[21] . Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), cet. VIII
[22] M. Alfatih Suryadilaga, Miftahus Sufi, (Yogyakarta: Teras, 2008),hal.23-24
[23] Danial Ahmad,Tasawuf dan Revolusi Spiritual, hal.24-25.
[24] Danial Ahmad,Tasawuf dan Revolusi Spiritual, hal.28-29
[25] M. Al-Fatih, Op.Cit., h. 30
[26] https://id.wikipedia.org/wiki/Rabi'ah_al-Adawiyyah
[27] https://id.wikipedia.org/wiki/Rabi'ah_al-Adawiyyah
[28] Zainuddin, dkk., Seluk Beluk Pendidikan Dari al-Ghazali, (Jakarta : Bumi Aksara, 1991), hlm. 7.
[29] Matnu Bidayat Al-Hidayat fi At- Tawassuth Bainal Fiqh wa Tasawuf lil Imam Hujjatul Islam Abi Hamid al-Ghazali, (Surabaya : Diyantara, T. Th.),
[30] Abidin Ibnu Rusn, Op. Cit., hlm. 9.
[31] Al-Ghazali dan Plato, (Surabaya : Bina Ilmu, 1986), Cet. I., hlm. 7.
[32] Abidin Ibnu Rusn, Op. Cit., hlm. 12.
[33] Abidin Ibnu Rusn
[34] Abdul Baqi Surur, Imam Al-Ghazali Hujjatul Islam, (T.T : Pustaka Mantiq, T.Th.), 54 -55.
[35] Zainuddin, dkk., Op. Cit., hlm. 10.